31 Mei 2009

Bibit-Bibit Panggilan Bersemai dalam Keluarga-Keluarga

JAKARTA (UCAN) -- Di saat Gereja Katolik Indonesia menghadapi kesulitan dalam menarik orang untuk menjadi imam serta biarawan-biarawati, Tarekat Misionaris Hati Kudus (MSC) nampaknya tidaklah demikian.

Komunitas imam dan bruder internasional itu mendapatkan sembilan imam yang ditahbiskan di Indonesia tahun 2004, enam di tahun 2005, empat di tahun 2006, lima di tahun 2007 dan 16 di tahun 2008. Tahun ini, empat sudah ditahbiskan di bulan Februari dan enam lainnya akan ditahbiskan juga di tahun ini. Kini ada 96 anggota MSC sedang belajar filsafat dan teologi serta 19 orang sedang berada di novisiat.

MSC Indonesia memiliki 213 imam termasuk 12 warga negara Indonesia kelahiran luar negeri, serta lima uskup termasuk satu uskup berkewarganegaraan Indonesia tapi lahir di luar negeri. MSC Indonesia juga memiliki 21 bruder.

Pastor Johanis Mangkey, Provinsial MSC Indonesia, dipilih tanggal 9 Februari 2008.

Dia mengatakan bahwa pertumbuhan panggilan yang stabil dalam kongregasinya adalah berkat kerja keras para imam MSC dalam pelayanan pastoral paroki, pendidikan dan pembinaan, karya sosial dan media.

Namun Pastor Mangkey, 55, menekankan bahwa bibit-bibit panggilan sesungguhnya bersemai dalam keluarga-keluarga, maka ia berharap agar Gereja memfokuskan pendidikan iman dalam keluarga.

Pastor Mangkey pernah bertugas sebagai Asisten Jenderal dari pemimpin tertinggi MSC sedunia di Roma dari tahun 1993 sampai 2005 dan sebagai Sekretaris Jenderal MSC dari 2002 sampai Februari 2006.

MSC didirikan oleh Pastor Jules Chevalier, seorang imam Perancis dari Issoudun, di tahun 1854. Sejak itu tarekat itu tersebar di seluruh dunia. Kini ada lebih dari 2000 imam dan bruder MSC yang bekerja di 55 negara.

Moto kongregasi itu adalah: “Ametur ubique terrarum, Cor Jesu Sacratissimum in aeternum“ (Semoga Hati Kudus Yesus dikasihi di seluruh dunia, selama-lamanya).

Wawancara dengan Pastor Mangkey sebagai berikut:

UCA NEWS: Bagaimana situasi panggilan di Indonesia saat ini?

Pastor Johanis Mangkey: Dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, situasi panggilan di Indonesia masih baik. Di Belanda, misalnya, sudah 30 tahun ini tidak ada lagi tahbisan imam untuk MSC. Situasi ini sama dengan di Perancis, meskipun di Italia ada beberapa panggilan tiga tahun lalu.

MSC provinsi Indonesia masih memiliki cukup panggilan, khususnya yang berasal dari bagian timur Indonesia seperti Maluku, Sulawesi, Timor dan Flores. Meskipun MSC tidak bekerja di Flores dan Timor namun kita mendapat panggilan dari sana setiap tahun.

Yang memprihatinkan kami serta tarekat lain adalah pulau Jawa. Panggilan di Jawa sudah sangat menurun. Dua tahun terakhir, untuk pertama kalinya MSC tak punya panggilan dari Jawa. Pertanyaannya, di Keuskupan Purwokerto di mana MSC bekerja juga tidak ada lagi panggilan untuk MSC. Memang kami belum menemukan alasannya. Bagi kami itu suatu refleksi. Mungkin kita harus mengoreksi diri, bagaimana harus tetap memperkenalkan diri di sana.

Bisakah Anda menjelaskan kesuksesan kongregasi Anda?

Saya kira ini karena keterlibatan dan kehadiran langsung MSC di seminari-seminari, misalnya di seminari tingkat SMP di Saumlaki, Tanimbar, dan di tingkat SMA di Langgur, juga di Tomohon. Di sana MSC terlibat sebagai staf tetap atau sebagai pengajar.

Di mana pun juga kami berada promosi yang paling utama untuk menarik panggilan adalah kesaksian hidup. Kami tidak sekedar hadir di situ, tapi menghidupi semangat kami, bagaimana semangat itu mewarnai karya pelayanan. Di situ, bukan cuma anak-anak yang melihat tetapi orang tua. Maka, kalau anak mengatakan mau masuk seminari dan datang pada pillihan mau jadi biarawan atau projo, orang tua mendorong anak-anaknya untuk menjadi misionaris MSC.

Anda baru kembali dari novisiat MSC di Karanganyer, Jawa Tengah. Apa kesan para novis tentang pembinaan mereka?

Pertama-tama para novis sangat berterima kasih untuk tiga imam dan magister yang melayani mereka di novisiat itu dengan penuh kebersamaan, kekompakan, komitmen dan kerja sama. Mereka juga merasa turut dilibatkan dalam program sehingga mereka tidak menjadi objek tapi subjek pembinaan itu. Mereka juga melihat bahwa mereka mau dibentuk bukan hanya secara rohani tetapi juga secara pribadi, yang membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh, terutama menjadi pribadi rohani yang dijiwai semangat MSC.

Bagaimana Gereja bisa menjaga kesuburan panggilan?

Keluarga adalah seminari yang pertama. Orangtua harus menyuburkan iman anak-anak mereka, bukan dengan memaksa mereka berdoa atau mengikuti Misa, tetapi melalui teladan.

Keteladanan orangtua sangat penting. Mengapa panggilan di Eropa sangat berkurang, menurut saya, adalah faktor keluarga. Mereka membawa anak mereka untuk dipermandikan, tetapi setelah itu terserah kepada anak untuk menentukan masa depannya. Orangtua tidak memberikan pendampingan yang konsisten.

Sebaliknya di novisiat itu, saya bertemu seorang novis, anak dari keluarga yang kaya. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya seorang wanita karir. Ketika dia bilang mau masuk seminari dia ditentang. Ternyata orangtuanya hanya mau menguji apakah dia betul terpanggil secara sadar atau karena ikut teman, karena beberapa kakaknya akhirnya keluar juga dari seminari.

Akhirnya dia katakan bahwa panggilannya tumbuh dari dia sendiri, karena mamanya itu pendoa. Papanya yang dulu sibuk dengan bisnis, kini juga menjadi pendoa. Jadi dia melihat sepertinya panggilan dia terhubungkan dengan peranan iman terutama kekuatan doa mamanya.

Waktu saya di Eropa ada sebuah pertanyaan kepada saya, apa yang membuat banyak panggilan di Indonesia. Saya katakan, di samping keluarga-keluarga di Indonesia masih beriman, umat Katolik masih mau mengikuti Misa, mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja, dan berdoa Rosario bersama dalam keluarga dan lingkungan di setiap bulan Maria, Mei dan Oktober. Mereka kaget dan mengatakan bahwa Gereja di Indonesia sangat hidup.

Maka saya berharap Gereja yang lebih luas belajar mengembangkan pendidikan iman dalam keluarga-keluarga, karena di situ bibit panggilan menjadi imam, biarawan-biarawati dan petugas pastoral Gereja seperti katekis akan bertumbuh.

Keluarga ada bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga menjadi sarana Tuhan untuk membagikan kebaikan dan cinta-Nya. Penghayatan dan praktek cinta dalam keluarga adalah kesaksian utama bagi anak-anak untuk berbagi kasih kepada orang lain.

Apa faktor-faktor keluarga lain yang terkait dalam panggilan seorang anak?

Dari pertemuan dengan para novis belum lama ini salah satu hal yang muncul adalah dukungan dan sekaligus tantangan atau ujian dari keluarga.

Bagi kebanyakan mereka ketika mengetahui keinginan untuk menjadi imam keluarga mendukung. Dukungan keluarga ini menjadi peneguhan atau penguatan akan keinginan yang mulai tumbuh. Ini sangat berarti!

Ada juga yang menemui tantangan demi pemurnian motivasi. Ketika orang tuanya mengetahui keinginannya untuk menjadi imam, anak itu diberi kemungkinan-kemungkinan lain seperti studi bidang tertentu di perguruan tinggi yang bagus, diberi fasilitas, dan sebagainya. Tetapi ketika anak itu bersikeras untuk mengikuti bisikan suara hati untuk menjadi imam pada akhirnya orangtua merestui dengan pesan “ini pilihanmu, seriuslah dengan itu”.

Sumber : Ucanews.com

Read more...

Uskup Desak Para Imam Rangkul Kaum Muda karena Panggilan Menurun

JAKARTA (UCAN) -- Ketua Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia mengajak para imam dan kaum religius untuk merangkul orang muda karena panggilan menurun di seluruh tanah air.

Jumlah panggilan imam dan religius menurun karena kegiatan promosi panggilan yang menargetkan orang muda tidak dilakukan secara efektif, kata Uskup Pangkalpinang Mgr. Hilarius Moa Nurak SVD.

“Berbagai kegiatan promosi panggilan masih bersifat tradisional dengan membagikan pamflet dan brosur dan kurang kerjasama di kalangan tarekat,” tegasnya.

Namun, prelatus itu mengatakan ia tidak memiliki data konkret tentang bagaimana panggilan itu menurun.

Uskup Nurak berbicara kepada UCA News pada 15 Mei setelah menghadiri pertemuan yang diselenggarakan di Rumah Retret Samadi, Jakarta Timur. Ia dan lebih dari 50 imam, bruder dan suster dari berbagai kongregasi menghadiri pertemuan 11-14 Mei yang bertemakan, "Menjawab tantangan menurunnya panggilan di Indonesia."

Uskup Nurak mengatakan acara itu mengungkap bahwa panggilan menurun di banyak bagian di tanah air, meskipun jumlahnya nampak stabil di bagian-bagian lain.

Salah satu alasan yang mungkin terjadi adalah orang awam melihat para imam dan kaum religius semakin dipengaruhi oleh konsumerisme.

Menurut uskup itu, para imam dan kaum religius hendaknya memberikan ”contoh yang baik” kepada orang awam khususnya orang muda sehingga mereka bisa tertarik terhadap panggilan menjadi imam, biarawan atau biarawati.

Menekankan pentingnya kerja sama di kalangan kongregasi yang berbeda, katanya: “Kita tidak single fighter tapi kita bekerja untuk keseluruhan. Setiap tarekat bisa saling memberikan informasi apa yang harus dikerjakan.”

Uskup Nurak juga meminta para imam dan kaum religius untuk memberikan kesempatan bagi orang awam terlibat dalam berbagai kegiatan promosi panggilan.

Pastor Paulus Suparmono CM, provinsial CM Indonesia, mengatakan kepada UCA News awal bulan ini bahwa "banyaknya variasi pilihan hidup yang lebih luas memungkinkan kaum muda untuk memilih” sehingga “kita harus lebih kreatif mencari celah untuk menyapa, menyemai, dan menumbuh kembangkan panggilan di kalangan pemuda."

Salah satu cara tersebut adalah dengan mengadakan retret, katanya. ”Retret atau rekoleksi panggilan merupakan wadah untuk mempertegas arah panggilan yang dimiliki seseorang. Ini salah satu celah untuk memberikan kemungkinan bagi mereka yang merasa terpanggil di tengah dunia yang semakin sekularistik.”

Kongregasinya mengadakan retret dua kali setahun di Jawa Timur. Retret terakhir diadakan pada bulan Februari. ”Ada lebih dari sepuluh orang muda datang. Meskipun jumlah itu tidak terlalu besar,” katanya.

Berbicara berbagai kegiatan promosi panggilan yang diadakan untuk memperingati Hari Panggilan, katanya, ia mengatakan kegiatan itu untuk merangkul orang muda.

“Saya pikir, pendekatan personal terhadap kaum muda yang dilayani akan lebih efektif dalam menumbuhkan panggilan,” katanya.

Beberapa keuskupan di tanah air merayakan Hari Panggilan se-Dunia pada 3 Mei dengan mengadakan Misa, sesi sharing iman dan kunjungan ke seminari. Di keuskupan Purwokerto, Jawa Tengah, sekitar 150 anak dan remaja mengikuti Misa pada 3 Mei yang dipimpin Pastor Patrisius Pa SVD, direktur Karya Kepausan Indonesia (KKI).

Anak-anak Bina Iman dan Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner (SEKAMI) di keuskupan Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merayakan hari khusus itu dengan mengunjungi dua rumah pembinaan religius.

Di keuskupan Larantuka, Nusa Tenggara Timur, SEKAMI mengadakan acara sharing iman tentang karya misi pada 2-3 Mei di halaman Katedral Reinha Rosari. Acara itu dihadiri lebih dari 1.300 anak.

Sumber : ucanews.com
Read more...

Internet Memperluas Jangkauan Pastoral Uskup

BANDUNG, Jawa Barat (UCAN) -- Uskup Bandung Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta diyakini sebagai satu-satunya uskup Indonesia yang memiliki account Facebook dan Multiply.

Prelatus yang diangkat oleh Paus Benediktus XVI sebagai uskup Bandung tanggal 17 Mei 2008 itu, sudah bertahun-tahun bahkan sejak masih imam mengenal teknologi digital itu.

Ia menjadi anggota Facebook sejak akhir 2008, dan kini sudah memiliki lebih 5000 teman dalam situs jaringan sosial itu, atau melebihi batas maksimum yang ditentukan. Berkat laptop dan handpone BlackBerry, dia selalu terhubung secara digital.

Uskup itu berbicara dengan UCA News di kantornya sehari setelah Hari Komunikasi se-Dunia ke-43 dan berbagi tentang bagaimana teknologi komunikasi modern membantu dia dalam karya pastoralnya.

Wawancara sebagai berikut:

UCA News: Anda begitu familiar dengan Internet. Anda punya alamat email pribadi serta account Facebook dan Multiply. Kapan Anda mulai menggunakan semua teknologi baru ini?

USKUP Pujasumarta: Dalam keluarga kami, biasa diadakan pertemuan keluarga pada hari-hari setelah Natal menjelang tahun baru untuk saling komunikasi. Pada pertemuan keluarga akhir tahun 2007 yang lalu kami ingin lagi meningkatkan mutu komunikasi kami dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi. Saya usulkan kepada saudara-saudari saya untuk membuat mailinglist, kalau mungkin juga website.

Di bulan Januari 2008 mulailah saudara-saudari saya berkiprah komunikasi melalui internet ini. Bahkan sekarang kami terhubung melalui Multiply. Ternyata komunikasi dapat terjalin dengan baik. Jaringan meluas. Banyak inisiatif dari teman-teman untuk saling berkomunikasi.

Saya masuk dalam jaringan Facebook sebenarnya baru akhir Desember 2008. Saya heran sendiri setiap bulan jumlah teman yang berjejaring sekitar 1000 orang, sehingga bulan Mei ini jumlahnya sudah 5000 lebih, melebihi batas maksimum yang ditentukan.

Apakah teknologi ini mendukung karya pastoral Anda?

Benar, saya banyak terbantu dengan teknologi Internet. Di dalamnya saya menemukan banyak hal yang bahkan dapat saya gunakan sebagai sumber informasi yang rasanya tidak habis-habisnya. Komunikasi pun terjalin dengan cepat.

Bagaimana peralatan komunikasi ini membantu Anda mewartakan Kabar Gembira?

Melalui Internet, Kabar Gembira yang saya bagikan tidak hanya tersebar lebih cepat tapi juga menjangkau lebih banyak orang. Selain membagikan pengalaman dan pemikiran spiritual yang syukur-syukur bisa mencerahkan orang lain, saya juga terutama ingin mendengarkan apa yang menjadi isi hati mereka. Syukur bahwa ada banyak orang yang menangkap kata-kata saya sebagai ‘kabar suka cita’ bagi mereka.

Sejak saya mulai menggunakan Multiply sebagai imam di Keuskupan Agung Semarang, saya selalu mengakhiri pesan saya dengan kata-kata: "Salam, doa, n Berkah Dalem."

Seberapa seringkah Anda menggunakan Internet?

Secara berkala saya cek email, Facebook dan Multiply. Berkat BlackBerry saya tidak lagi tergantung pada komputer. BlackBerry online 24 jam sehari, tujuh hari seminggu.

Pesan Paus Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi se-Dunia 2009 berjudul "Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan." Menurut Anda, apakah orang-orang Gereja sudah menggunakan teknologi-teknologi baru sesuai harapan Paus itu?

Penggunaan jaringan komunikasi modern secara tepat akan menjalin komunikasi antarpribadi yang mendalam dan tak terhalang oleh jarak dan waktu. Sayang, alat-alat itu kadang-kadang diapresiasikan tidak seperti fungsinya, misalnya sekedar untuk hiburan, entertainmen, atau bahkan simbol prestige.

Pesan Bapa Suci Benediktus XVI pada Hari Komunikasi se-Dunia sangat meneguhkan saya dalam berkomunikasi melalui Internet dengan segala fasilitas yang disediakan.

Rata-rata berapa banyak pesan masuk mailbox Anda setiap hari. Pesan-pesan bagaimana dan dari siapa?

Saya belum pernah menghitung berapa email sehari yang masuk. Namun, yang biasanya datang adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan beriman dan cukup banyak yang minta doa. Juga ada persoalan-persoalan pribadi atau persoalan keluarga misalnya hati yang terluka atau juga broken home. Mereka minta pemecahannya. Biasanya saya mengatakan jangan memakai Facebook atau Multiply untuk membicarakan masalah-masalah pribadi itu, tapi silahkan lewat email karena itu rasanya lebih aman.

Sebagian besar pengirim beragama Katolik, bukan hanya dari Jawa tetapi juga dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan pulau lain. Ada juga yang tidak Katolik. Saya juga menerima pesan-pesan dari luar negeri.

Apakah Anda pernah memperoleh pengalaman menarik dalam menggunakan Internet?

Yang paling mengesankan pada saya dalam jaringan komunikasi modern ini adalah terjalin komunikasi antarpribadi yang bukan sekedar membangun suatu komunitas maya (virtual community), tetapi komunitas batin (spiritual community) yang sungguh hebat.

Sharing yang terjadi tidak sekedar basa-basi, tetapi sharing pengalaman mendalam mengenai suka dan duka kehidupan. Sharing pengalaman itu yang mampu mempersatukan di mana pun kita berada dan dikembangkan dalam “Jejaring Sembahyang dan Doa” atau ”INTERNET OF PRAYERS”.

Mukjizat “Penggandaan 5 roti dan 2 ikan” yang terwujud dalam semangat berbagi kepada sesama pun menjadi lebih meluas dan terus bergulir lewat jaringan komunikasi modern ini, bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Apa perasaan Anda saat menerima bahan-bahan pornografi atau pun spam lainnya di email, Facebook atau Multiply?

Sebuah teknologi ibaratnya uang logam yang mempunyai dua sisi. Ada yang baik dan buruk. Saat bertemu dengan yang buruknya, saya tidak menanggapi. Kadang saya berdoa, “Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan, tetapi bebaskan kami dari yang jahat!”

Konsisten dalam doa membantu saya untuk tidak meng-klik pesan-pesan negatip atau buruk di Internet.

Teknologi digital sangat popular di kalangan kaum muda. Apa komentar Anda?

Banyak mahasiswa dan siswa SMA menggunakan Internet. Ibu-ibu muda juga demikian, baik di rumah atau di kantor yang menyediakan fasilitas Internet. Bisa dikatakan teknologi berada dalam genggaman kaum muda saat ini. Mereka bertumbuh dalam dunia digital. Itulah cara anak muda sekarang berkomunikasi atau berbicara. Kita harus menerima kenyataan ini.

Saya hanya berharap teknologi ini digunakan untuk hal-hal positif, membantu pengembangan diri, dan bisa menjadi kesaksian iman bagi banyak orang.

Seperi motto episkopal saya, saya mendorong orang muda bertolak ke tempat yang dalam (duc in altum) dengan memahami bahwa sarana ini bukan untuk main-main tapi sarana untuk menggali pengalaman batin atau mengungkapkan pengalaman batin, dan justru di situ mereka berevangelisasi. Mereka mesti menggunakan Internet dalam fungsi yang utuh, bukan sekedar sebagai sarana entertainmen tapi sebagai sarana pewartaan.

Saya juga minta kaum muda untuk waspada dan kuat karena dalam kedalaman bisa menjadi godaan besar.

Bagaimana Anda menggunakan teknologi-teknologi ini untuk pelayanan pastoral, dan bagaimana efektifnya teknologi itu?

Secara berkala saya mengisi blog saya dengan setiap kegiatan pastoral yang saya jalankan. Homili ataupun permenungan yang saya dapatkan terkadang saya posting juga dalam blog saya. Saya harapkan semua itu bisa meneguhkan lebih banyak orang.

Semakin orang menggunakan Internet untuk tetap saling berhubungan, semakin kurang nampaknya perlunya pertemuan tatap-muka. Pertemuan-pertemuan itu penting untuk menjalin hubungan. Bagaimana komentar Anda?

Saya ingat yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI, “Apabila hasrat akan jalinan maya berubah menjadi obsesi, maka hasrat itu akan memarjinalkan pribadi dari interaksi sosial real sekaligus menghambat pola istirahat, keheningan dan permenungan yang berguna bagi perkembangan kesehatan manusia.”

Bagi saya, alat komunikasi tetaplah alat. Kitalah pengguna alat ini. Karena itu, diperlukan kehendak untuk menata waktu secara baik dan tepat untuk menggunakannya.

Sumber: Ucanews.com
Read more...

CAFOD akan Membantu Pengungsi Pakistan

LONDON (UCAN) -- CAFOD, mitra Inggris Caritas, telah menjanjikan £100,000 (US$158,000) untuk membantu masyarakat yang kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran antara milisi Taliban dan tentara Pakistan di lembah Swat.

Uang itu akan disalurkan ke badan-badan Katolik yang berkarya di wilayah itu dan umumnya akan dimanfaatkan untuk membantu sekitar 10.000 keluarga pengungsi, atau sekitar 70.000 orang. Mereka tidak tinggal di kamp-kamp tetapi di keluarga-keluarga lain. "Orang-orang ini kurang didokumentasi dibandingkan dengan mereka yang berada di kamp-kamp, dan keluarga-keluarga yang menerima para pengungsi itu sendiri sangat miskin,” kata Debbie Wainwright, jurubicara CAFOD Asia, kepada UCA News.


CAFOD adalah agen pertolongan dan bantuan Katolik di Inggris yang dibentuk tahun 1962oleh para uskup Katolik England dan Wales. Mula-mula agen ini dikenal dengan Dana Katolik bagi Pengembangan Luar Negeri (Catholic Fund for Overseas Development), tetapi kini dikenal dengan Agen Katolik untuk Pengembangan Luar Negeri (CAFOD, Catholic Agency for Overseas Development). CAFOD merupakan bagian dari Federasi Internasional Caritas.

Caritas adalah agen pelayanan sosial Gereja Katolik.

Milisi Taliban mengatakan pada 24 Mei, mereka akan berhenti bertempur di Mingora, kota utama di lembah itu. Pertempuran paling sengit terjadi di kota itu baru-baru ini. Namun, tentara Pakistan mengatakan, dia akan terus menyerang untuk membersihkan milisi dari kota itu. Helikopter tempur telah menyerang dua desa terdekat yang dikuasai Taliban.

Orang-orang yang terperangkap di wilayah itu menghadapi bencana kemanusiaan jika pemerintah tidak mencabut jam malam di wilayah itu sehingga makanan, air, dan obat-obatan bisa didrop dari udara untuk mereka yang terperangkap, demikian Human Rights Watch yang berbasis di New York. Agen pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mengatakan bahwa sekitar 2,38 juta orang telah melarikan diri.

Mereka hanya memiliki pakaian di badan, kata Robert Cruickshank, manejer program dari CAFOD Pakistan, demikian website CAFOD. Ia mengatakan bahwa 26 kamp resmi, yang menampung 262.000 pengungsi, telah penuh sesak dan orang-orang, terutama yang sudah tua, sangat menderita karena temperatur setinggi 53 derajat Celsius.

Ia menambahkan: "Ratusan ribu orang berlindung di banyak gedung sekolah dan masjid atau tinggal dengan keluarga-keluarga lain, sehingga menjadi beban tambahan bagi keluarga tuan rumah yang memang sudah miskin. Para mitra kami akan lebih memusatkan perhatian pada usaha mendukung mereka yang tinggal dengan keluarga-keluarga yang menampung, walaupun keluarga-keluarga ini tersebar dan berjarak jauh satu sama lain dalam kelompok-kelompok kecil."

Para mitra CAFOD -- Caritas Pakistan, Catholic Relief Services yang berbasis di Amerika Serikat, dan ICMC (International Catholic Migration Commission) -- telah menyediakan air bersih, tempat perlindungan temporer, perlatan masak, dan selimut, serta penyuluhan bagi mereka yang trauma yang mencapai hampir 150.000 orang.

Kaum perempuan khususnya paling trauma dan bingung karena banyak dari mereka belum pernah meninggalkan keluarga mereka sebelumnya, kata Cruickshank.

Sumber : Ucanews.com

Read more...

Pentingnya Internet dan Seni Tradisional

JAKARTA (UCAN) -- Para pemimpin agama Katolik di Indonesia menekankan pentingnya teknologi modern dan seni tradisional dalam komunikasi Gereja saat merayakan Hari Komunikasi se-Dunia baru-baru ini.

Pada 24 Mei, Paroki St. Anna di Duren Sawit, Jakarta Timur, meluncurkan website-nya yang berisi dokumen Gereja, renungan dan keluarga, serta informasi tentang berbagai kegiatan paroki.

"Dengan website baru ini, semoga umat paroki disadarkan untuk menggunakan media sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata kepala paroki Pastor Yohanes Sudriyanto SJ kepada UCA News.

Pastor Sudriyanto mengatakan bahwa komunikasi online itu sesuatu yang umum saat ini tetapi ia juga menegaskan "kita perlu memanfaatkannya secara optimal untuk menunjang komunikasi dan menembus keterbatasan komunikasi di antara kita karena di paroki ini ada sekitar lebih dari 10.000 umat yang tersebar di 82 lingkungan.”

Paus Benediktus XVI memilih "Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan" sebagai tema untuk perayaan Hari Komunikasi se-Dunia tahun ini.

Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja SJ meluncurkan website Gereja St. Anna itu (www.gerejastanna.org), yang dikelola seksi komunikasi sosial dan seksi kepemudaan paroki itu, dalam Misa khusus.

Dalam kotbahnya, ia mengajak seluruh umat Katolik supaya menggunakan berbagai teknologi komunikasi modern dengan bijaksana sehingga dapat menghindari dampak negatif penggunaan teknologi itu. ”Kita syukuri kemajuan teknologi. Kita menggunakannya dengan sebaik-baiknya agar bermanfaat bagi kita.”

Prelatus itu mengakui bahwa teknologi modern mempermudah pekerjaan manusia tetapi ia juga mengingatkan umat bahwa perjumpaan pribadi tetap penting karena komunikasi digital tidak dapat mewakili perjumpaan pribadi.

Sementara itu, Uskup Purwokerto Mgr Julianus Sunarka SJ dan empat imam merayakan Misa di Paroki St. Filipus Kapencar di Wonosobo, Jawa Tengah, untuk memperingati Hari Komunikasi se-Dunia. Dalam homilinya, Uskup Sunarka berpendapat bahwa kesenian tradisional itu penting sebagai media komunikasi untuk daerah pedesaan. Ia menyebutkan ketoprak dan wayang kulit sebagai contoh kesenian tradisional itu.

"Ketoprak dan wayang kulit adalah alat komunikasi yang sangat berguna,” katanya. “Ketika kita menyaksikan pementasan ketoprak, kita akan menerima ajaran dari kisah yang dibawakan.”

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 70 wartawan Katolik mengikuti Misa di Gereja St. Yosef Pekerja Penfui untuk memperingati hari khusus itu. Pastor Paroki Florensius Maxi Un Bria mengatakan bahwa teknologi komunikasi berkembang pesat. "Setiap saat, kita bisa mengetahui berbagai peristiwa di berbagai pelosok dunia," katanya.

Namun, ia menegaskan bahwa peran teknologi seperti itu seharusnya dapat mewartakan kebenaran, merukunkan perbedaan dan mengatasi konflik. “Umat Katolik hendaknya menggunakan media komunikasi sebagai sarana efektif untuk menghadirkan perdamaian,” tekannya.

Di keuskupan Atambua, Timor barat, Komisi Komunikasi Sosial keuskupan itu mengadakan lomba menulis pada 22-24 Mei, yang temanya berdasarkan tema Hari Komunikasi se-Dunia. Sebanyak 37 pelajar Katolik dari sekolah-sekolah menengah atas (SMA) di keuskupan Atambua ikut serta dalam lomba itu.

Sumber : Ucanews.com
Read more...

Mendampingi Kehidupan Rohani Narapidana Selama 25 Tahun

JAKARTA (UCAN) -- Yusuf Mawarjoko, seorang pegawai penjara, telah mendampingi kehidupan rohani narapidana Kristen selama lebih dari 25 tahun.

Mawarjoko mulai bekerja di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang tahun 1976 sebagai staf administratif dan ditunjuk oleh kepala LP Cipinang sebagai pendamping narapidana Kristen tahun 1983. Ia mengatakan tugas itu merupakan panggilannya sebagai seorang Katolik. Ia mendampingi sekitar 200 narapidana Katolik dan Protestan supaya iman mereka kuat dan bisa mengubah diri mereka.

Pria berusia 54 tahun itu bekerja bersama para imam yang berkarya di dekenat Jakarta Timur dan membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan rohani mulai dari pertemuan bulanan atau dua bulanan sampai doa harian dan Misa. Bahkan, ia juga mengkoordinir kegiatan-kegiatan semacam itu pada hari libur.

UCA News mewawancarai Mawarjoko tentang pelayanannya itu:


UCA NEWS: Apa yang memotivasi anda dalam melaksanakan pelayanan ini?

YUSUF MAWARJOKO: Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik dengan bidang ini dan saya merasa tidak siap karena pengetahuan keagamaan saya begitu minim. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari tugas ini merupakan panggilan saya sebagai orang Katolik untuk memperhatikan kehidupan rohani para narapidana. Saya yakin jika hidup mereka mengakar pada kehidupan rohani, mereka tidak akan masuk ke tempat ini.

Saya hanya mengandalkan Tuhan dalam melaksanakan tugas ini. Tapi, tugas ini juga membuat saya gembira karena saya menganggapnya sebagai cara untuk melayani Tuhan dan sesama. Tugas ini juga memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan mengenal kerohanian dengan lebih mendalam.

Apakah Anda memulai pelayanan ini berdasarkan prakarsa Anda sendiri?

Tidak. Saya ditunjuk kepala LP Cipinang untuk mendampingi narapidana Kristen tahun 1983. Pelayanan ini sudah ada sebelum saya menanganinya tetapi kegiatannya hanya dilakukan sekali atau dua kali sebulan. Kami hanya disediakan kapel dengan altar dan kursi sehingga saya meminta Gereja-Gereja yang melayani penjara ini supaya membawa alat musik dan peralatan liturgi untuk Misa dan doa-doa.

Kami juga mendapat dukungan baik dari institusi ini, yang menghendaki para nara pidana untuk mengembangkan hidup rohani mereka.

Sekarang, kami mengadakan acara rohani setiap pagi dan sore dari Senin sampai Jumat. Pada hari Sabtu dan Minggu kami juga mengadakan berbagai kegiatan dan saya juga mendampingi mereka supaya kegiatan-kegiatan itu berjalan dengan baik.

Pelayanan rohani apa yang Anda berikan kepada para narapidana?

Saya hanya sebagai fasilitator Gereja-Gereja yang melayani tempat ini. Tetapi, saya juga mendampingi narapidana Katolik dalam berdoa rosario, pendalaman iman, dan sharing Kitab Suci setiap Jumat pagi. Saya juga memberi kesempatan kepada mereka untuk memimpin kegiatan-kegiatan itu.

Ada juga pengajaran Alkitab bagi narapidana Protestan pada Senin dan Jumat yang dibimbing oleh para pendeta dari GPIB dan Gereja Bethany. Beberapa narapidana Katolik juga bergabung. Selain itu, ada juga persiapan baptis yang dilakukan setahun dua kali.

Di sini, narapidana Katolik dan Protestan mengadakan Misa dan kebaktian bersama. Namun, kami hanya memberikan Komuni Kudus kepada yang Katolik saja.

Saya memberikan pendampingan kepada narapidana Katolik berdasarkan kalender Gereja. Misalnya, saya mengajak mereka untuk jalan salib dan pendalaman iman dalam masa Prapaskah dan doa rosario pada bulan Mei dan Oktober. Tapi saya tidak memaksa mereka. Saya hanya menghimbau dan kebanyakan dari mereka rajin mengikuti berbagai kegiatan itu.

Keuskupan Agung Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sedang bekerja sama membangun perpustakaan di sebelah kapel dan akan selesai bulan Juli nanti. Gereja Katolik telah menyumbang lebih dari 100 buku tentang rohani, pengetahuan umum, keterampilan, dan lain-lain. Perpustakaan dengan luas 30 meter persegi itu juga akan digunakan sebagai ruang konseling.

Apakah pelayanan Anda di sini mengganggu kehidupan keluarga Anda?

Awalnya, pelayanan ini benar-benar mengganggu kegiatan saya di rumah dan bahkan istri saya curiga karena saya melayani para narapidana setiap hari. Tetapi, istri dan kedua anak saya mendukung saya karena ini adalah bentuk pelayanan terhadap Gereja.

Bagaimana tanggapan para narapidana terhadap usaha Anda?

Sekitar 200 narapidana Kristen mengikuti misa atau ibadat-ibadat dan sepertinya mereka senang dengan kegiatan ini. Setiap hari, saya selalu ditanya apakah akan ada ibadat pada hari berikutnya. Saya berpikir kegiatan rohani sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi mereka.

Apakah ada rintangan dalam tugas Anda?

Ya. Pertama, motivasi beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan rohani kadang-kadang hanya untuk mendapat makanan. Kedua, ada begitu banyak Gereja yang ingin melayani peribadatan sehingga kami kesulitan mengatur waktu. Dan ketiga, kami masih kekurangan sarana dan tenaga untuk melayani para nara pidana.

Bagaimana pelayanan Anda ini menguntungkan para narapidana?

Kegiatan-kegiatan rohani dapat mengurangi rasa bosan dan sepi para narapidana dan juga trauma yang pernah mereka alami. Mereka bernyanyi dan mendengarkan sabda Tuhan tetapi kami juga memberi kesempatan kepada mereka untuk bermain alat musik dalam misa atau ibadat.

Kami berharap dengan mendengarkan sabda Tuhan setiap hari, para narapidana dapat merefleksikan tindakan mereka di masa lampau dan menyadari apa yang mereka lakukan itu bertentangan dengan ajaran Tuhan.

Bagaimana dukungan Gereja terhadap pelayanan Anda?

Dukungan Gereja sungguh luar biasa, bukan hanya bersifat rohani tetapi juga materi - menyumbang Kitab Suci, makanan dan alat musik. Para imam yang berkarya di dekenat Jakata Timur juga mengunjungi penjara ini untuk merayakan Ekaristi dan melayani sakramen Tobat.

Kunjungan Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja baru-baru ini juga memberikan dukungan moral terhadap para narapidana dan pelayanan saya. (Catatan editor: Kardinal Darmaatmadja dan beberapa imam merayakan Misa bersama mereka pada 14April, dua hari setelah Minggu Paskah.)

Apakah kegiatan rohani harian itu mengganggu kegiatan penjara?

Kami selalu melaksanakan kegiatan rohani tanpa mengganggu kegiatan lainnya dan kami meminta kelompok-kelompok doa yang melayani tempat ini supaya menghormati agama lainnya. Para narapidana juga didorong supaya menghormati pemeluk agama lain ketika mereka sedang beribadat.

Penjara ini merupakan satu-satunya penjara yang mengadakan kegiatan rohani setiap hari.

Apa harapan Anda terhadap para narapidana?

Saya mengharapkan Gereja melanjutkan pelayanannya di penjara ini karena pelayanan itu sungguh membantu para narapidana mengubah tingkah laku mereka. Dan harapannya, setelah mereka bebas mereka akan mempunyai iman yang kuat dan hidup baik di tengah-tengah masyarakat.

Sumber: ucanews.com
Read more...

More than 30,000 faithful pray to Our Lady of Aparecida for families of Brazil

Aparecida, Brazil, May 28, 2009 / 08:12 pm (CNA) - More than 30,000 people participated last Sunday in the national pilgrimage for the family, organized by the Bishops’ Conference of Brazil, which concluded at the Shrine of Our Lady of Aparecida, the patroness of the country.

Bishop Orlando Brandes of the bishops’ Committee on Family and Life, said the pilgrimage was intended to increase awareness about the value and centrality of the family amidst the current crisis.

During the homily at the concluding Mass, Archbishop Lyrio Rocha of Mariana and president of the bishops’ conference, said, “We come to ask the Mother of God and our Mother to extend her hand over the families of Brazil, who are ever more vulnerable because of the great difficulties we must face in our day.”

The family, he underscored, “is the place where we learn the virtues, values, opinions and attitudes that are necessary for authentically living together in society.” This important institution can only be formed from a marriage between a man and a woman, “and therefore it should not be confused with other types of living arrangements,” the archbishop said.

In order to strengthen the family, he explained, “We need to promote an intense and vigorous family ministry,” and more “family associations capable of dialoging with those in public office at various levels” need to be created.

Public officials themselves need to make a greater effort to promote measures that respect, value and protect families,” he said.

Source : Catholic News Agency
Read more...

Pius XII helped thousands of Jews and laid the foundation for the Council, says Cardinal Ruini

Rome, Italy, May 28, 2009 / 12:55 pm (CNA) - The Vicar Emeritus of the Diocese of Rome has penned a personal article about his childhood and adolescence during the pontificate of Pius XII, who he said reached out to the Jews and laid the foundation for the Second Vatican Council.

In the article published by the L’Osservatore Romano, Cardinal Camilo Ruini recounts his memories of the first Pope he remembers as a youngster, Pius XII, and how as a seminarian he felt a special closeness with the Pope. “The devotion to him and affection for him were an essential aspect of the atmosphere of the school and of our ecclesial and spiritual experience,” he wrote.

Cardinal Ruini went on to address the black legend surrounding Pius XII for supposedly not helping the Jews during World War II. “I can say that during my years as a youth (…) I never heard criticism of the Pope over this issue, only praise and gratitude,” the cardinal said, adding that one of his most vivid memories is “of everything Pius XII did to save the greatest number of Jews possible, while nobody said anything about his ‘silence.’”


For the cardinal, “it was obvious, in the atmosphere and ecclesial praxis of the time,” that if many “priests and religious communities, and the Vatican itself, had taken in and saved many persecuted Jews, that is ... it could not have been done without the encouragement and consent of the Pope.”

Since the concrete conditions of the Nazi occupation were a fresh reality, hypothesizing about the public condemnations that Pius XII could have made was not even on people's minds, Ruini recalled.

“Honestly, at that time the controversy that was to be unleashed not many years later could not have been imagined,” the cardinal said.

Referring later to the theology of Pius XII, who laid the foundation for Vatican Council II, Cardinal Ruini explained that this historical event in the Church “has inspired perspectives that were new, or better yet, more in conformity with the ancient tradition, in order to understand the Service of the Successors of Peter.”

For this reason, the cardinal said, “the Pontificate of Pius XII has a connection to the period which preceded him, which those of us who lived during both periods know by experience, but it also laid the groundwork for new developments, likewise known by experience by those of us who were nourished during our youth by his Magisterium and his testimony of dedication to Christ and care for the human race.”

Source : Catholic News Agency
Read more...

Holy Spirit makes the Church more than a humanitarian agency, Pope teaches

(Vatican/CNA) - After celebrating the Mass of Pentecost in St. Peter's Basilica, Pope Benedict XVI addressed a crowd of at least 30,000 people gathered in St. Peter’s Square. The Holy Father told the faithful that the Holy Spirit is the “soul” of the Church and that without the Holy Spirit, the Church would only be a “humanitarian agency.”

Pope Benedict XVI blesses the faithful in St. Peter's SquareVatican City, May 31, 2009 / 10:54 am




“In truth many regard the Church in this way because they observe it from outside the viewpoint of the Faith,” Pope Benedict explained. “Yet in reality, its true nature and its real historic presence has ceaselessly been guided and formed by the Holy Spirit and by the Lord.”

“The Church is a living body, whose vitality is, exactly the fruit of the invisible, Divine Spirit.”

The Pope recalled that this year, the Solemnity of Pentecost falls on the day in which the universal Church celebrates the visitation of Mary to Elizabeth, May 31, and inspired by this coincidence, he spoke of the youth of Mary and of the Church. “The young Mary, who is carrying Christ in her womb, forgets herself to run to the aid of others. She is a wonderful icon for the Church in the perennial youth of the Holy Spirit, the Missionary Church of the Word Incarnate, called to bring it to the world and witness it particularly through charity,” the Pope reflected.

“Let us invoke the intercession of Mary, most Holy, so the Church of our time may be continually strengthened by the Holy Spirit,” he urged.

The Pope also prayed for those Christians who are being persecuted, saying,“May the ecclesial communities who suffer persecution for Christ feel the comforting presence of the Paraclete, so that by participating in the Lord’s suffering they may receive in abundance the Spirit of Glory.”

Following the Regina Coeli prayer, the Pontiff spoke of the young people of Italy’s Abruzzo region who will mark a regional Youth Day soon. “In communion with the young people of that land that was badly hit by the earthquake (last month),” he said, “we ask the Risen Christ to send upon them his Spirit of consolation and of hope.”

sumber : Catholic News Agency


Read more...

26 Mei 2009

Orang Muda Katolik Temukan Kekuatan Rohani dalam Doa Rosario

DHAKA (UCAN) -- Setahun lalu, Shawon Purification hampir kehilangan harapan untuk bertahan hidup ketika suatu penyakit tak terindentifikasi mengancam kehidupannya.

“Saya mengalami deman tinggi, badan saya membengkak, dan terlalu lemah untuk bisa bergerak,” katanya. “Para dokter di berbagai pusat medis tidak bisa mengidentifikasi penyakit itu.”

“Dalam keadaan yang sedemikian kritis, keluarga saya dan saya sendiri mulai berdoa rosario mohon perantaraan Bunda Maria, dan saya sembuh,” lanjutnya. “Saya percaya, itu mungkin terjadi karena berkat-berkat Bunda Maria.”

Pria berusia 20 tahun yang mengalami mujizat itu datang dari Paroki Dharenda di Savar, dekat Dhaka. Dia berbicara kepada UCA News pada 15 Mei dalam sebuah pertemuan kaum muda di Gereja Rosario Suci di Tejgaon, untuk sekitar 200 orang muda Katolik yang berkumpul untuk berdoa rosario dan untuk menghadiri Misa.

Ketua Pelayanan Keluarga Salib Suci (HCFM, Holy Cross Family Ministries), Pastor John Phalen, 62, menghadiri pertemuan itu sebagai tamu dan merupakan bagian dari perjalanan Bangladesh yang dilakukannya mulai 8 Mei. Dalam perjalanan ini yang meliputi Dhaka, Khulna, dan Chittagong ini, dia mendorong umat Katolik untuk berdoa rosario.

Pastor Phalen, yang berencana mengunjungi lebih banyak paroki di sini bersama Uskup Agung Paulinus Costa dan koordinator HCFM Bangladesh, Pastor Parimal Francis Pereira, sebelum dia meninggalkan Bangladesh 23 Mei, juga membicarakan rencana-rencana bersama enam koordinator HCFM tingkat keuskupan di Bangladesh.

Pastor Phalen, asal Amerika, telah menjabat sebagai ketua HCFM sejak 1996. Dia meneruskan karya Pastor Patrick Peyton OSC, yang lebih populer dengan “imam rosario.” Pastor Peyton kelahiran Irlandia tiba di Bangladesh tahun 1955. Dia mengunjungi Paroki Tejgaon dan Paroki Hashnabad di Dhaka, dan berbicara tentang tentang pentingnya berdoa rosario atas permintaan Uskup Agung Dhaka Mgr Lawrence Leo Graner (1950-1967) waktu itu.

HCFM melanjutkan karya Pastor Peyton di Bangladesh dengan mengadakan berbagai pertemuan dan seminar tentang pentingnya berdoa rosario dalam keluarga. HCFM memiliki representatif di setiap enam keuskupan di negeri itu.

Berbicara kepada UCA News, Pastor Phalen mengatakan: “Rosario suci ini memperkuat kehidupan iman orang muda Katolik, dengan memberikan mereka anugerah pembedaan roh secara jeli (discerment) dan kemampuan untuk memilih yang benar, serta membawa perdamaian dan kebahagiaan bagi keluarga-keluarga mereka.”

Purification, yang sembuh total, mengatakan: “Orang muda Katolik yang berdoa roasario secara teratur tidak akan berjalan dalam kehidupan yang keliru. Rosario akan menyelamatkan mereka dari setiap bahaya dan membuat kehidupan mereka indah.”

Veronica Gomes, 18, seorang mahasiswi dari Dhaka, sependapat. “Keluarga saya berdoa rosario setiap malam,” katanya. “Secara pribadi, saya mendapat banyak manfaat dari doa-doa ini dalam berbagai cara. … Ketika menghadapi berbagai tantangan, saya berdoa rosario dan saya tertolong untuk mengatasinya tanpa kesulitan.”

Pastor Pereira berkomentar bahwa “pertemuan kaum muda ini akan mendorong orang muda Katolik untuk berdoa rosario secara teratur.”

sumber: ucanews.com

Read more...

Paus Temukan “Keterbukaan untuk Dialog” di antara Umat Kristen, Yahudi, dan Muslim

Oleh Gerard O'Connell
Koresponden Khusus di Roma


KOTA VATIKAN (UCAN) -- Paus Benediktus XVI melihat tanda pengharapan di Tanah Suci yang, katanya, sekalipun merupakan “simbol kasih Allah bagi umat-Nya dan seluruh umat manusia,” telah menjadi “simbol perpecahan dan konflik yang tak ada akhirnya."

Paus berusia 82 tahun itu membuat komentar itu di akhir “ziarah perdamaian” bersejarah yang dilakukannya selama delapan hari ke Tanah Suci. Dia memulai perjalanannya di Jordania pada 8 Mei, sebelum pergi ke Israel dan Wilayah Palestina.

Dalam kunjungannya, ia bertemu dengan para pemimpin ketiga negara dan wilayah itu, dan sempat berbicara secara pribadi dengan mereka masing-masing.

Menyambut ribuan peziarah di Lapangan St. Petrus di Roma pada 17 Mei, paus masih memohon – seperti yang dilakukannya dalam perjalanan ke Tanah Suci – kepada umat Kristen, Muslim, dan Yahudi untuk "bekerja sama" dan dengan orang-orang yang berkehendak baik "membangun suatu masa depan keadilan dan perdamaian di negara-negara dan wilayah itu."

Berbicara dari perspektif teologis, Paus Benediktus mengatakan bahwa Tanah Suci, dengan situasinya yang sangat bersejarah, dapat dilihat sebagai "sebuah mikrokosmos yang kembali menyatakan dirinya sebagai perziarahan Allah dengan manusia yang sedemikian sulit."

Ini merupakan “suatu perziarahan yang mengandung dosa serta salib," tetapi juga "kebangkitan telah dimulai."

Paus merujuk pada tanda-tanda kebangkitan ini ketika ia berbicara kepada para wartawan dalam penerbangannya dari Tel Aviv ke Roma, pada 15 Mei, dan menyatakan "tiga kesan mendasar" yang diperolehnya dalam kunjungan itu.

Pertama, katanya, ia “menemukan di mana-mana,” baik di antara umat Kristen, kaum Muslim, dan umat Yahudi, "keterbukaan yang pasti untuk kerja sama, berkontak, dan dialog antaragama." Penting bagi semua orang untuk pahami bahwa ini bukan sekedar motif terkait dengan situasi sekarang ini, katanya, melainkan “buah" iman akan Allah yang Esa yang diyakini oleh mereka semua.

Kedua, ia menemukan apa yang diuraikannya sebagai "suatu suasana ekumene yang membesarkan hati” di kalangan komunitas-komunitas Kristen di Tanah Suci. Secara khusus paus menyebut "keramahan luar biasa" yang dialaminya dalam banyak pertemuan dengan para pemimpin Gereja Ortodoks Yunani, Anglikan, dan Lutheran.

Ketiga, katanya, ia bukan saja melihat dan merasakan "berbagai kesulitan yang sangat besar" yang ada, tetapi "saya juga melihat ada suatu kerinduan mendalam akan perdamaian di semua pihak." Ada berbagai kesulitan, katanya mengakui, tetapi semua ini harus dijelaskan, bukan disembunyikan.

Sebelumnya, ketika berbicara dalam upacara perpisahan di Bandara Internasional Ben Gurion di Tel Aviv, Paus Benediktus membuat sebuah penekanan terakhir pada perdamaian di hadapan para petinggi politik Israel serta para pemimpin agama Kristen, Yahudi, dan Muslim.

"Jangan ada lagi penumpahan darah! Jangan ada lagi pertikaian! Jangan ada lagi terorisme! Jangan ada lagi peperangan!" katanya, dengan berbicara sebagai "seorang teman dari rakyat Palestina maupun bangsa Israel."

Pada 11 Mei, ketika tiba di sini, paus meminta sebuah "solusi dua negara" sebagai jalan menuju “perdamaian yang adil dan abadi." Sekarang, untuk mulai, ia kembali meminta agar ini "menjadi kenyataan."

"Biarlah secara universal diakui bahwa Negara Israel berhak untuk ada, dan untuk menikmati kedamaian dan keamanan dalam batas-batas yang diakui secara internasional,” katanya. "Sebaliknya, biarlah diakui bahwa rakyat Palestina berhak memiliki tanah air merdeka dan berdaulat, untuk hidup bermartabat dan bebas bepergian."

Paus juga mengatakan kepada para pemimpin Israel bahwa tembok sepanjang 700 kilometer dengan tinggi delapan meter yang memisahkan warga Israel dari warga Palestina itu merupakan “salah satu pandangan yang sangat menyedihkan” yang diamatinya ketika mengadakan kunjungan itu. Dia berdoa, semoga tidak lama lagi tembok itu tidak dibutuhkan.

Pada pagi yang sama, sebelum berangkat ke bandar udara, paus bertemu dengan para pemimpin Kristen di Yerusalem di Patriarkat Ortodoks Yunani. Setelah mendorong mereka untuk bersatu, paus berdoa semoga harapan mereka untuk "hidupkan kebebasan beragama dan hidup bersama secara damai" bisa terwujud.

Yang terpenting dari kunjungannya terjadi segera ketika paus memasuki Basilica of Holy Sepulcher di Yerusalem. Paus berdoa dalam keheningan beberapa menit di makam Kristus, tempat yang sangat dihormati dalam agama Kristen. Paus juga berdoa di tempat Yesus disalibkan.

Paus Benediktus terlatih sebagai seorang diplomat, meskipun dalam kunjungannya ke Tanah Suci, dia secara mengejutkan memasuki apa yang umumnya dianggap daerah politik dan keagamaan, bukan saja dalam hubungan dengan orang Yahudi dan kaum Muslim, tetapi juga dalam menghimbau suatu penyelesaian politik terhadap konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung 61 tahun.

Paus turut meningkatkan rekonsiliasi dan saling memahami secara lebih mendalam antara umat Kristen dan Yahudi, setelah berbicara secara mendalam dengan tokoh-tokoh religius Yahudi. Umat Yahudi menyambut kutukannya terhadap anti-Semitisme dan penyangkalan Holocaust, ingatannya terhadap 6 juta orang Yahudi yang mati dalam Holocaust, doanya di Tembok Ratapan (Tembok Barat dari Bait Allah), serta rasa hormatnya terhadap agama Yahudi.

Namun, tidak mengherankan, kalau paus tidak bisa memuaskan semua orang. Sejumlah kecil orang Yahudi terkemuka di Israel, termasuk Rabbi Utama Meir Lau, ketua Komisi Yad Vashem, mengkritik paus karena tidak menyebut kata “Jerman” atau “Nazi,” atau “enam juta” korban Nazi dalam pidatonya dalam acara Peringatan Holocaust di Yad Vashem.

Media Israel membahas kritikan ini dalam laporan berita mereka.

Pastor Federico Lombardi, direktur Kantor Pers Takhta Suci, menjawab kritikan ini dengan mengatakan, paus telah mengatakan semua itu dalam pidato sebelumnya di Koln, Jerman, dan di Auschwitz, dan tentu tidak ada orang yang mengharapkan paus mengatakan semua itu terus menerus dalam setiap pidatonya.

Presiden Israel Shimon Peres juga membela paus, dan mengatakan buah-buah kunjungan paus akan bersifat jangka panjang, dan tidak bisa dihakimi dengan "insiden-insiden" seperti itu.

Sementara kritikan Yahudi tersebar di publik, kritikan yang sama dari umat Kristen Palestina tidak bisa didiamkan begitu saja: Kritikan dari umat Kristen Palestina mengungkapkan keprihatinan bahwa kunjungan paus hanya memperbaiki citra publik Israel setelah penyerangan terhadap Gaza, yang meninggalkan banyak persoalan tak terpecahkan.

Mereka juga menyesal bahwa paus dalam pidato-pidatonya tidak menyinggung jumlah pendudukan Israel yang terus meningkat di seluruh negeri, atau hak para pengungsi untuk kembali. Mereka melihat hal ini sebagai kendala terbesar untuk perdamaian dengan keadilan.

Namun, kebanyakan kaum Muslim Palestina menyambut hangat pidato-pidato paus yang mengungkapkan perhormatan terhadap Islam, dengan menghimbau terbentuknya negara Palestina dan kebebasan bergerak yang lebih besar dari warga Palestina, pencabutan embargo terhadap Gaza, dan kritikan paus terhadap tembok yang dibangun Israel. Mereka juga menyambut baik kunjungan paus ke Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock) di Yerusalem, Masjid Al-Hussein di Amman, dan kamp pengungsi Aida di Bethlehem.

Para pemimpin Gereja Kristen di Tanah Suci sangat mendukung kunjungan paus, dan penekanan paus terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina, yang menurut penelitian merupakan alasan terbesar bagi eksodus umat Kristen, serta warga Palestina umumnya, dari Tanah Suci.

Menyambut Paus Benediktus ke Israel pada 11 Mei, dengan “misi perdamaian” paus, Presiden Shimon Peres mengatakan: "Para pemimpin spiritual dapat merintis jalan bagi para pemimpin politik. Mereka dapat membersihkan wilayah-wilayah ranjau yang menghalangi jalan menuju perdamaian."

Paus Benediktus telah membuat suatu hal tertentu dengan hanya melakukan hal itu. Kini kita tinggal melihat apakah para pemimpin politik di Tanah Suci menanggapi kata-kata paus dengan keterbukaan hati dan berupaya menuju “suatu keadilan yang adil dan abadi” bagi rakyat mereka masing-masing.

sumber : ucanews.com
Read more...

Orang Muda Katolik Lakukan Evangelisasi Lewat Pelayanan Media

SINGAPURA (UCAN) -- Jam 11.00 malam pada sebuah hari Minggu. Dua orang muda paroki masih sibuk di sebuah kantor kecil di paroki mereka, dengan perhatian perpusat pada layar komputer. Adakalanya mereka makan coklat, rangsangan yang mereka pilih untuk bisa bertahan bekerja sampai larut malam.

Lyndley Lilynne Seah dan Ah-Qune sibuk untuk bisa memenuhi batas waktu pencetakan "Tomorrow,” koran milik Paroki Maria Ratu Para Malaekat yang dilayani oleh para imam Fransiskan. Koran itu dimulai pada pesta paroki itu pada Agustus 2007.

Koran bulanan 12 halaman itu merupakan perwujudan gagasan Pastor John-Paul Tan OFM. Setelah mengaudit komunikasi paroki tahun 2007, Pastor Tan sadar bahwa mingguan berita paroki yang ada itu “melulu hanya menyajikan informasi."

Inilah yang menjadi alasan lahirnya pelayanan media paroki yang bernama Potter & Scribe.

Seah, editor, bercerita bahwa ketika Pastor Tan menyampaikan gagasannya, hal itu bagaikan tanda bahaya. “Kita seperti ‘Menolak Mentah-Mentah!’ Kita tidak punya tenaga dan sumber daya manusia," kata pemudi berusia 22 tahun itu. Seah belajar komunikasi massa dan jurnalisme cetak.

Melayani umat paroki melalui Potter & Scribe membuat Seah berpaling kepada Allah dengan sering berdoa memohon "kelancaran pelayanan dan kesehatan orang-orang yang terlibat."

"Saya banyak belajar terkait dengan manusia, tanggung jawab, manajemen waktu, dan pengorbanan" selama bertahun-tahun, kata Seah, yang bekerja full-time di sebuah perusahaan, bagian informasi pasca-produksi.

Perempuan muda itu mengatakan, “kegembiraan terbesar” baginya adalah ketika dia melihat seorang membaca "Tomorrow" ketika menunggu kereta. "Itu terjadi di stasiun kereta, pada jam sibuk di pagi hari. Seorang perempuan berdiri di depan saya. Perhatiannya terpusat pada koran itu, sehingga tidak sadar kalau kereta telah tiba,” katanya bercerita.

Koran yang dicetak 4.000 eksemplar itu didanai oleh paroki. Koran itu dibagikan gratis ke 7.000 umat paroki pada akhir pekan pertama setiap bulan.

Setiap edisi berisi artikel-artikel tentang iman, gaya hidup, pengembangan kepribadian, serta cerita-cerita tentang umat teladan, kegiatan paroki, dan isu-isu terakhir yang menjadi minat umat.

Ah-Qune, 26, yang menjadi fotografer dan perancang tata letak, bekerja sebagai pegawai Komunikasi dan IT full-time di paroki itu.

"Pelayanan media yang kami lakukan itu dimaksud untuk menyatukan berbagai bentuk media lain, bukan hanya "Tomorrow," katanya. "Kami tengah mencari ide bagaimana memiliki blog yang akan dimulai oleh pelayanan itu dan ditangani oleh tenaga-tenaga muda yang tangguh. Kami juga akan meluncurkan sebuah website untuk Kantor Kepemudaan di paroki,” kata Ah-Qune.

Maria Ratu Para Malaekat bukan satu-satunya paroki yang memiliki publikasi secara teratur. Paroki Kristus Raja juga menerbitkan majalah triwulanan setebal 44 halaman warna-warni, yang diproduksi oleh Majesty Media, sebuah pelayanan media yang dilakukan oleh orang muda dewasa.

Pelayanan itu dimulai dua tahun lalu oleh orang-orang muda dewasa yang ingin "membentuk sebuah kelompok media untuk evangelisasi," demikian Joann Chia, 26, editor "G! Magazine."

Seperti "Tomorrow," "G! Magazine" itu bebas iklan dan didanai sepenuhnya paroki. Ongkos produksi setiap majalah itu kurang dari S$2 (US$1.40), demikian Joann Chia, 26, editor.

Terence Kesavan, seorang frater diosesan yang bertugas di Paroki Kristus Raja, berkomentar, “uang dimanfaatkan dengan baik, karena isi majalah itu sungguh bagus."

"Banyak doa dan pandangan ditulis dalam bentuk artikel dan umat membacanya. Inilah cara terbaik untuk menjangkau umat," katanya.

Melalui Majesty Media yang sudah ada di paroki itu, majalah itu kini berusaha memanfaatkan sebuah hiburan radio yang tidak berjalan lagi. Di Kantin paroki, musik dan diskusi diputar bagi umat setiap hari Minggu pagi.

Di masa depan, mereka ingin memproduksi DVD yang berisi berbagai peristiwa paroki dan iman Katolik, dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk lebih bisa menggapai umat.

Untuk sekarang, kelompok itu tengah memusatkan perhatian pada sebuah website untuk memperingati Hari Komunikasi se-Dunia pada 24 Mei. Website itu akan memungkinkan umat mengakses sumber-sumber spiritual di Internet.

Juga pada hari Minggu ini, para anggota akan mendistribusikan selipan buku yang berisi alamat website itu dan sebuah ayat inspirasi dari Kitab Suci agar umat paroki memiliki teks tertulis yang bisa dibagikan dengan keluarga dan teman-teman.

sumber: ucanews.com

Read more...

Gereja-Gereja Berjuang untuk Menolong Orang Terlantar

LAHORE, Pakistan (UCAN) -- Ketika badan-badan bantuan Gereja bergabung dengan yang lain untuk memerangi krisis kemanusiaan akibat pertempuran di Pakistan bagian barat laut, seorang Katolik menghadapi persoalan itu seorang diri.

Sambil duduk di bawah spanduk bergambar salib, Bandu Chohan menunggu sumbangan untuk orang terlantar. Dalam pekerjaan yang melemahkan semangat selama sembilan hari itu, Chohan berhasil mengumpulkan uang 250 rupe (US$3). Bahkan ada orang yang ingin menghilangkan salib dari spanduknya itu di tengah malam.

Namun, Chohan tidak merasa terganggu. ”Banyak orang berusaha menakut-nakuti saya, dengan berkata bahwa saya goblok,” katanya. “Bahkan seorang uskup Katolik menasehati saya untuk berhenti, dengan berkata bahwa ini akan memberikan citra buruk bagi orang Kristen” karena usaha seperti itu tidak berarti sama sekali.

Namun Chohan melakukan pekerjaan itu secara serius. ”Kami biasanya menungggu bantuan asing. Orang Kristen hendaknya maju ke depan untuk membantu orang Kristen dan Muslim yang terlantar. Saya melakukan ini untuk memuliakan Tuhan,” kata montir mobil berusia 65 tahun itu.

Organisasi Kristen dan Muslim mengadakan pengumpulan dana di sejumlah kota bagi orang terlantar dari Swat dan Buner, tempat-tempat pertempuran paling sengit melawan militan Taliban yang dilakukan tentara Pakistan.

Karitas-Pakistan baru-baru ini menyalurkan kipas angin, tempat tidur, bantal dan selimut untuk sekitar 40 keluarga Kristen yang terlantar yang kini tinggal di sebuah Gereja Lutheran di Nowshehra, sebuah kota lain di Propinsi Frontier Barat Laut.

Karitas adalah badan pelayanan sosial Gereja Katolik.

Pada pertemuan 20 Mei yang diadakan oleh Dewan Gereja Nasional Pakistan (NCCP, National Council of Churches of Pakistan), sekitar 60 orang termasuk dua uskup Pakistan, lima imam Katolik, para suster, para pemimpin Gereja Bala Keselamatan, dan wakil dari berbagai serikat madani Kristen membahas apa dampak krisis itu bagi kelompok-kelompok minoritas, seperti kelompok orang-orang Kristen.

"Negeri kita sekarang ini berada di ambang kehancuran. Ketetapan perintah sedang menghadapi tantangan, bukan dari partai politik, tapi dari teroris terselubung," kata Vaicor Azariah, sekretaris jenderal NCCP, pada pertemuan di Lahore itu.

“Kami mesti berdoa, memberi sumbangan, dan berjuang bersama-sama untuk mencegah terjadinya pembantaian besar-besaran lebih lanjut atau perang saudara,” kata Azariah.

Para pembicara mengungkapkan keprihatinan mereka tentang ancaman dari para militan Taliban dan masa depan kelompok-kelompok minoritas di Pakistan. Mereka juga berbagi pandangan tentang tanggapan Gereja terhadap krisis itu.

Kemudian ketika berbicara dengan UCA News, Azariah menjelaskan bahwa forum diskusi itu merupakan langkah pertama untuk merumuskan suatu strategi.

“Rekomendasi-rekomendasi akan meliputi deklarasi bersama yang akan dikeluarkan para pemimpin dari denominasi-denominasi utama seusai pertemuan akbar 22 Mei untuk menanggapi kerusuhan sekarang ini,” katanya.

Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa baru 15 persen pengungsi yang kini ditampung di kamp-kamp resmi. Sebanyak 1,4 juta orang, menurut laporan, terpaksa melarikan diri karena pertempuran itu.

Sumber : ucanews.com
Read more...

Forum Ekaristi dan Komunitas Kirim Pesan kepada Para Uskup

SEOUL (UCAN) -- Sejumlah teolog Katolik dan pekerja Gereja dari seluruh Asia mengirim pesan kepada para pemimpin Gereja. Pesan itu menyatakan bahwa Ekaristi, inti ajaran Katolik, hendaknya menjadi jembatan yang menghubungkan iman akan Allah dengan kehidupan setiap hari.

Sekitar 80 teolog, misionaris, dan aktivis awam dari 11 negara Asia menghadiri forum bertema "Ekaristi dan Komunitas – Melampau Semua Penghalang” (Eucharist and Community - Beyond All Barriers). Peristiwa 18-20 Mei di Pusat Retret St. Benediktus di Seoul itu diselenggarakan bersama oleh Gerakan Katolik Internasional untuk Urusan Intelektual dan Kultural (ICMICA, International Catholic Movement for Intellectual and Cultural Affairs) dan Institut Teologi Woori (WTI, Woori Theology Institute) yang berbasis di Seoul.

Dua kelompok itu mengadakan forum itu mendahului sidang pleno kesembilan dari Federasi Konferensi-Konfernsi Waligereja Asia (FABC, Federation of Asian Bishops' Conferences), yang akan berlangsung di Manila pada 10-16 Agustus dengan tema: "Penghayatan Ekaristi di Asia” (Living the Eucharist in Asia).

Di akhir pertemuan, mereka mengeluarkan deklarasi yang mengatakan bahwa mereka berkomitmen untuk mengembangkan sebuah katekese yang lebih komprehensif tentang Ekaristi, yang memperlihatkan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Mereka juga mengatakan bahwa mereka berkomitmen untuk menggunakan kekuatan Ekaristi demi apresisasi yang lebih besar terhadap dialog segitiga FABC dengan manusia, kebudayaan, dan agama di Asia.

Pembicara kunci, Pastor Michael Amaladoss SJ, menjelaskan bahwa Ekaristi itu pada dasarnya adalah “perjamuan komunitas," sebuah tindakan simbolis yang katanya memiliki tataran ritual, sosial, dan mistik.

"Untuk menjadi nyata dan otentik, tindakan simbolik ini hendaknya merayakan kehidupan. Namun jika komunitas tidak berusaha secara aktif menghayati kehidupan, maka komunitas hendaknya jangan merayakan kehidupan. Itulah sebabnya rekonsiliasi melibatkan saling memaafkan sebelum memulai perayaan ini," kata direktur Institut untuk Dialog dengan Kebudayaan dan Agama di Chennai, India bagian selatan, itu.

Prinsip dasar Ekaristi adalah keterlibatan penuh, sadar, dan aktif dari umat, tegasnya. “Komunitas sebagai Tubuh Kristus adalah mereka yang merayakan, sementara imam adalah ‘pelayan’ dan karena itu dia adalah hamba komunitas,” lanjutnya.

Lawrencia Kwark Eun-kyung, sekretaris jenderal ICMICA, mengatakan kepada UCA News pada 20 Mei bahwa forum itu merupakan suatu upaya yang dilakukan umat awam untuk berkomunikasi dengan para pemimpin Gereja di Asia sebelum pleno FABC. "Tujuan lain adalah untuk membangun dan memperkuat jaringan di kalangan para teolog dan aktivis Gereja," tambah perempuan Korea itu.

Para peserta juga termasuk Uskup Bandung, Indonesia, Mgr Johannes Pujasumarta; Uskup Protestan Dhirendra Kumar Sahu, sekretaris umum Dewan Nasional Gereja-Gereja di India; dan Pastor William LaRousse MM, sekretaris Kantor Urusan Ekumene dan Hubungan Antaragama dari FABC.

Dengan menggunakan "lima roti dan dua ikan" yang dijelaskan Uskup Pujasumarta sebagai contoh, deklarasi mereka juga berjanji untuk mengembangkan sebuah keanekaragaman "dalam sharing rencana dan proyek" di tingkat komunitas lokal.

Uskup Indonesia itu mengatakan kepada UCA News, ia memprakarsai gerakan itu untuk orang miskin tahun 1992, ketika menjadi vikjen Keuskupan Agung Semarang. Sasaran program sharing itu, katanya, adalah para siswa di sekolah-sekolah Katolik, yang menabung dan mengumpulkan uang bagi para pelajar miskin dan keluarga-keluarganya.

“Karena saya belajar tentang realitas dan Ekaristi di berbagai negara, pertemuan ini bagi saya kelihatannya merupakan sebuah ‘katekese yang menghidupkan’ tentang Ekaristi,” katanya.

Pastor LaRousse, juga seorang pembicara dalam forum itu, mengatakan kepada UCA News bahwa peristiwa itu merupakan pengalaman yang baik betapa umat Kristen dari berbagai negara merenungkan tentang bagaimana menghayati Ekaristi di Asia.

“Dari pengalamanku di Davao, Filipina, saya berharap para uskup akan mendengar hasil yang baik dari forum ini,” katanya.

sumber : Baca di sini
Read more...

24 Mei 2009

STFK Ledalero Siap Jadi Garam dan Terang

Perayaan Puncak Pancawindu STFK Ledalero

Oleh Kristianto Naben


LEDALERO (FP)
Perayaan Pancawindu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero adalah sebuah perayaan syukur untuk perjalanan panjang yang telah dilalui STFK Ledalero. Momentum perayaan ini dimaknai oleh STFK Ledalero untuk menegaskan jati dirinya untuk siap menjadi garam dan terang bagi dunia.

Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota sedang memberikan kotbah pada perayaan ekaristi Pancawindu STFK Ledalero.


“Usia pancawindu STFK Ledalero ini mesti dimaknai sebagai sebuah momentum revitaliasi, menggairahkan sebuah komitmen besar yang sedang dan terus akan kita usung melalui kiprah misioner kita di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Perayaan kita juga harus menjadi sebuah afirmasi, sebuah peneguhan dan dukungan yang tulus agar Ledalero akan selamanya jadi tempat pencerahan dan pencerdasan bagi kader-kader Gereja Kristus. Semoga apapun ilmu dan proses olah budi serta perilaku akademik yang dikembangkan di STFK Ledalero membuka mata segala bangsa untuk melihat terang abadi,” kata Uskup Agung Ende, Mgr Vincent Sensi Potokota dalam kotbahnya pada perayaan ekaristi Pancawindu STFK Ledalero, di aula Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Sabtu (23/5).

Menurut Uskup Sensi, pencerahan dan pengetahuan tentang kebenaran-kebenaran sejati, nilai-nilai dan kearifan-kearifan akademik pada gilirannya harus terungkap dalam kecerdasan, kebijaksanaan dan komitmen pelayanan misioner warga STFK Ledalero. Ini harus terungkap dalam karya perutusan sebagai saksi hidup di lapangan.

Usai memberikan kenang-kenangan Ketua STFK Ledalero, P. Konrad Kebung SVD (kiri) gambar bersama Wakil Bupati Sikka Wera Damianus, Gubernur NTT Frans Leburaya, Ketua Koordinator Kopertis Wilayah VIII Baharuddin, Bupati Sikka Sosimus Mitang, Wakil Alumni STFK Ledalero Wilhem Openg, Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota, Pr dan Ketua YASSPA, P Amatus Woi SVD.

“Yang diutus lembaga ini adalah atas nama Gereja sebagai garam dan terang. Bekal pencerahan dan pencerdasan yang kita timba di lembaga ini mesti berdaya guna yakni dapat mengasinkan dan mengawetkan apa saja yang kita temukan dalam perutusan kita. Kita adalah garam dan terang jika pengabdian dan pelayanan kita tanpa pamrih dan kita hidup benar, jujur, adil dan damai,” kata Uskup Sensi.

Dengan menjadi garam dan terang, langkah perutusan para warga STFK Ledalero mesti mengurangi jumlah bingung dan tersesat dan tidak tahu arah. Menjadi garam dan terang juga harus terungkap dalam beragam kesaksian hidup yang mencerminkan bahwa kekayaan nilai-nilai Ilahi yang diajarkan dan dikembangkan di STFK Ledalero sungguh merupakan tawaran keselamatan yang pasti dan meyakinkan.

Ketua Yayasan Persekolahan St Paulus, P. Amatus Woi SVD, dalam sambutannya mengatakan para alumni STFK Ledalero telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan menjangkau daerah-daerah yang sulit. Sewaktu berkunjung ke wilayah perbatasan Indonesia dan Papua Nugini, ia menjumpai seorang awam alumni STFK Ledalero yang berkarya di sana.

“Kepada saudara-saudara saya awam alumni STFK Ledalero, janganlah menganggap bahwa perjalanan Anda yang tidak menjadi imam adalah menjadi yang terbuang. Itu adalah rencana Tuhan,” katanya.

Pater Amatus juga menyampaikan rasa bangga kepada STFK Ledalero yang telah menghasilkan alumni yang andal. STFK Ledalero telah aktif dalam berbagai bentuk keterlibatan seperti mendidik putra dan putri dari wilayah ini, keterlibatan sosial dalam bentuk pembentukan opini, publikasi-publikasi dan keterlibatan dalam berbagai problematika sosial kemasyarakatan. Kompetensi utama mereka yang dididik di STFK Ledalero adalah mereka yang menjadi rohaniwan. Mereka yang inilah yang memegang peran dalam setiap Gereja Lokal di wilayah ini.

“Kalau dihitung-hitung, 99 % imam yang memegang posisi penggembalaan umat di wilayah ini adalah alumni STFK Ledalero,” katanya. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang mendukung penyelenggaraan pendidikan di STFK Ledalero.

Sementara itu, wakil alumni STFK Ledalero, Kristo Blasin mengatakan pada momen perayaan Pancawindu STFK Ledalero ini harus disyukuri karena STFK Ledalero telah menjadikan dirinya sebuah panti ilmu dan iman serta wadah penyelamatan bagi sebanyak mungkin orang. Para alumni telah membaktikan diri dalam berbagai bidang kehidupan. Ada suka dan duka yang telah dialami para alumni selama menjalani pendidikan di STFK Ledalero.

“STFK Ledalero tidak membekali para alumni dengan uang atau harta tetapi daripadanya alumni diberi kesempatan untuk mereguk nilai-nilai demi membangun jati diri di tengah dunia. Ledalero telah menghasilkan insan-insan berkualitas baik yang imam maupun awam. Ini telah terbukti telah mengangkat Ledalero ke tempat publik dan disegani di tengah masyarakat,” katanya.

Ia berharap, ada komunikasi yang intens antara STFK Ledalero dan para alumni untuk kelangsungan pendidikan di STFK Ledalero serta pengabdian dan pelayanan di tengah masyarakat.

Gubernur NTT, Frans Leburaya, dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan profisiat kepada STFK Ledalero yang telah banyak berjasa dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi Gereja dan masyarakat. Kehadiran dan keberadaan STFK Ledalero telah memberikan warna tersendiri bagi upaya meningkatkan sumber daya manusia di NTT melalui karya pendidikan dan pembinaan calon imam. Mengatasnamai pemerintah dan masyarakat NTT Lebu Raya mengucapkan terima kasih dan profisiat untuk kontribusi STFK Ledalero. Ia berharap agar keluarga besar STFK Ledalero terus berkarya demi pembangunan manusia di Nusa Tenggara Timur.

Perayaan ekaristi syukur Pancawindu STFK Ledalero ini dipimpin oleh Uskup Sensi sebagai selebran utama didampingi Uskup Denpasar yang juga dosen STFK Ledalero, Mgr Silvester San Pr, Provinsial SVD Ende P Amatus Woi SVD, Provinsial SVD Timor P Simon Bata SVD, Provinsial SVD Ruteng P. Sebast Hobahana SVD serta sejumlah besar imam. Hadir juga para awam alumni STFK Ledalero dari berbagai daerah dan pejabat pemerintahan dari Kupang yang datang bersama rombongan gubernur serta pejabat di lingkup Pemkab Sikka.*

Read more...

Ketua STFK Ledalero Jadi Guru Besar

Guru Besar Pertama untuk PTS di NTT

Oleh Kristianto Naben


LEDALERO (FP)
Keluarga besar Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero patut bergembira dan bersyukur. Pada usianya ke-4o, STFK Ledalero mendapat kado ulang tahun yang istimewa.

Ketua Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VIII, Baharuddin AB, mengumumkan bahwa Ketua STFK Ledalero, P. Dr Konrad Kebung SVD telah diangkat oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menjadi Guru Besar atau Profesor. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 12811/A4.5/KP/2009 tanggal 2 Februari 2009. Baharuddin mengumumkan hal ini saat memberikan sambutan pada acara Perayaan Pancawindu STFK Ledalero, Sabtu (23/5).

Baharuddin mengatakan, pengangkatan Pater Konrad menjadi guru besar menambah barisan guru besar, yang jumlahnya 12 orang pada Kopertis Wilayah VIII yang mencakup Bali, NTT dan NTB.

“Dari sekian guru besar yang kita punya ini baru tiga orang yang guru besar dari tenaga pengajar tetap yayasan yang bukan pegawai negeri sipil. Dua orang baru dihasilkan oleh Universitas Pendidikan Nasional dan yang satu dari STFK Ledalero. Untuk Perguruan Tinggi swasta di NTT, STFK Ledalero telah membuat sejarah baru dengan memiliki seorang guru besar, yaitu Pater Konrad. Dia adalah guru besar pertama untuk Perguruan Tinggi Swasta di NTT. Saya ucapkan selamat untuk prestasi yang telah diraih STFK Ledalero ini,” katanya.

Kepada Flores Pos usai mengikuti acara resepsi, Baharuddin menjelaskan guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi untuk seorang dosen. Untuk proses yang normal, seorang dosen harus melalui jenjang seperti asisten, lektor, lektor kepala dan guru besar. Seorang dosen yang telah meraih gelar S3 dapat loncat jabatan jika kredit poinnya sudah cukup. Berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, untuk mendapat jabatan fungsional sebagai guru besar, seorang dosen harus mengumpulkan kredit sebanyak 850-1050. Untuk mencapai kredit itu, seorang dosen harus menghasilkan empat publikasi ilmiah di tingkat nasional maupun internasional.

Seorang guru besar, demikian Baharuddin, akan mendapat beberapa tunjangan dari negara seperti tunjangan profesi, tunjangan kehormatan dan tunjangan kemaslahatan. Pembayaran untuk tunjangan ini akan dilakukan setelah ada acuannya berupa Peraturan Pemerintah yang belum ditandatangani oleh Presiden namun drafnya sudah ada di meja presiden.

“Pater Konrad sudah mengumpulkan 1.010 kredit. Saya harap dalam waktu dekat beberapa dosen dari STFK Ledalero yang sudah disertifikasi dapat mengurus administrasi untuk segera diproses agar mendapat jabatan fungsional sebagai guru besar. Sekolah yang memiliki guru besar memberikan kredit poin tersendiri bagi sekolah tersebut dan akan menaikkan akreditasi sekolah,” katanya sambil menambahkan bahwa pengukuhan Pater Konrad sebagai guru besar merupakan tanggung jawab STFK Ledalero.*

Read more...

Merancang Kerja Sama Sekolah dan Komite Sekolah

Demi Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dan Mutu Sekolah

Oleh Frans Obon

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Departemen Agama (Depag) Kabupaten Ende Yosef Nganggo sedang memberikan materi ”Memahami Komite Sekolah” pada hari kedua lokakarya di PSE Ende, Sabtu (23/5).


Ende, Flores Pos
Sebanyak 40 orang ketua komite sekolah dasar dan sekolah menengah pertama mengikuti lokakarya yang digelar Seksi Pendidikan Agama Katolik pada Departemen Agama Kabupaten Ende dan Tim Pastoral Kevikepan Ende, yang berlangsung Jumat (22/5) hingga Minggu (24/5) di aula Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Ende di Jl Durian.

Lokakarya mengambil tema ”Dengan Membangun Kebersamaan, Kita tingkatkan Mutu Pendidikan Katolik”. Empat narasumber: Romo Herman E Wetu Pr dan Petrus Puli membawa materi Manajemen Berbasi Sekolah, Rencana Pengembangan Sekolah, Rancangan AD/ART Komite sekolah dan Rancangan RAPB Sekolah dan Komite; Kepala Departemen Agama Agustinus T Gempa membawakan materi Kebijakan Pemerintah: Pembangunan di Bidang Agama dan Kebersamaan dengan Para Pihak; Yosef Nganggo dari Depag Ende membawakan materi Komite Sekolah, dan Yohanes Baptiste Seja membawakan materi Dinamika Kelompok.

”Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat melainkan juga tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten, dan bahkan tanggung jawab sekolah, orang tua, dan masyarakat atau stakeholder pendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep community based participation dan school based management, yang tidak saja kita wacanakan melainkan kita laksanakan. Komite sekolah dipandang strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan,” kata Yosef Nganggo, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Depag Ende dalam sambutan pembukaan.


Seorang peserta sedang bertanya.

Dalam sajian materi hari kedua pada sesi memahami komite sekolah, Yosef Nganggo mengatakan, komite sekolah sebagai wadah peran serta masyarakat memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan dan menciptakan efisiensi dan pemerataan pengelolaan pendidikan.

“Komite sekolah merupakan lembaga non profit yang dibentuk berdasarkan musyawarah secara demokratis oleh para stakeholder pendidikan pada satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan,” katanya.

Dalam sejarah pendidikan di Flores, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan sudah lama dilakukan melalui wadah Persekutuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG), yang diubah menjadi Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Sekarang dalam konteks manajemen berbasis sekolah, dibentuklah Komite Sekolah sebagai wadah partisipasi orang tua murid dalam proses pendidikan.

Sedangkan Romo Herman E Wetu menegaskan bahwa manajemen berbasis sekolah menuntut adanya kemandirian sekolah untuk mengelola seluruh sumber daya yang dimiliki oleh sekolah bersangkutan.

“Manajemen berbasis sekolah memberikan kewenangan yang lebih luas pada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri, menekankan keikutsertaan masyarakat secara intensif dan ekstensif dalam pengelolaan sesuai dengan peran dan potensi masing-masing,” katanya.
Menurut dia, keberhasilan manajemen berbasis sekolah ditentukan oleh adanya dukungan, komitmen dan kesungguhan untuk melaksanakannya, kemampuan melakukan pembaruan, pengembangan potensi, dukungan terhadap visi dan potensi sumber daya sekolah.*

Read more...

19 Mei 2009

Pope Benedict gives thanks for pilgrimage to Holy Land

Vatican City, May 17, 2009 / 11:09 am (CNA)- On a warm spring day, Pope Benedict XVI met with tens of thousands of pilgrims gathered in St. Peter’s Square Sunday to pray the Regina Coeli and to reflect on his recent visit to the Holy Land.

The Pope began by thanking the Lord, the civil and religious authorities in the Holy Land and all those “who accompanied and supported me in their prayer” for his recently concluded pilgrimage to the region. He said, “This land, symbol of God’s love for his people and for the whole of humanity, is also a symbol of freedom and peace as God wills it for every one of his children.”

“However, yesterday’s and today’s history show that this land has become a symbol of the opposite, of divisions and never-ending conflicts among brothers,” he continued. “The Holy Land has itself become almost a metaphor of revelation a “Fifth Gospel”, as some have called it, which by virtue of its history can be considered a microcosm that sums up humanity’s tiring journey towards the Kingdom of justice, love and peace.”

In the last part of his reflection the Holy Father focused on praying for the civilians caught up in fighting in Sri Lanka. For the past several weeks he military has been on the offensive against Tamil rebels in the northern part of the country. Thousands of people have been caught in the crossfire.

Today the Sri Lankan government announced that all the displaced people had reached safe areas and that the 25-year war against the Tamil Tigers has ended in victory.

“We cannot end this Marian prayer without turning our thoughts to Sri Lanka, to express our affection and spiritual closeness to the civilians caught in the combat zone, in the north of the country; thousands of children, women and elderly who lost years of life and hope to the war,” the Pontiff said. “And so I call on the combatants to facilitate their evacuation, joining my voice to that of the United Nations Security Council which just a few days ago demanded guarantees for their safety and security.”

“I call on humanitarian organizations, including Catholic organizations, to leave no stone unturned in their effort to bring urgent food and medical aid to the refugees.”

“I entrust this dear country to the maternal protection of Our Lady of Madhu, beloved and venerated by all Sri Lankans,” Pope Benedict concluded. “I raise my prayers to the Lord that he may bring closer the day of reconciliation and peace.”

After the Marian prayer, the Pope addressed a few words to English-speaking pilgrims:

“I warmly greet all the English-speaking pilgrims and visitors present for this Regina Coeli prayer. In today’s Gospel Jesus invites his disciples to remain in his love by their love for one another. These words of the Risen Lord have a special resonance for me as I reflect on my recent pilgrimage to the Holy Land. I ask all of you to join me in praying that the Christians of the Middle East will be strengthened in their witness to Christ’s victory and to the reconciling power of his love. Through the prayers of Mary, Queen of Peace, may the Christians of the Holy Land, in cooperation with their Jewish and Muslim neighbors, and all people of good will, work in harmony to build a future of justice and peace in those lands. Upon them, and upon all of you, I invoke an abundance of Easter joy in Christ our Savior.

source: Catholic News Agency
Read more...

Spanish doctors: abortion is traumatic and parents must be informed

Catholic News Agency (CNA) - The president of the Collegial Medical Association in Spain, Juan Jose Rodriguez Sendin, said on Monday that abortion “is not like eating a piece of candy,” but rather is a “traumatic” surgical intervention in which the autonomy of the patient “should be made compatible with the right of parents to be informed.”

Speaking to reporters about the approval of a new law on abortion by the Council of Ministers, Rodriguez Sendin said it was an “error” and “unfortunate” that the legal age for an abortion without parent consent was dropped to 16 and that it would create worse problems for families than those that already exist in such cases.

He stressed that parents should be “given the opportunity to learn about the problems their daughters might have in order to help them and console them,” pointing out that a girl under the age of 16 having an abortion is not like “eating a piece of candy,” it is a “traumatic surgical intervention.”

Rodriguez Sendin also criticized the government for handling the issue at the Ministry of Equality instead of the Ministry of Health, which has better knowledge of the facts, and for not taking into account the opinions of experts in an issue “as controversial” as abortion.

He also called on health care professionals to be “responsible” in obtaining the informed consent that patients who want to get an abortion must sign, and he warned doctors to “be sure that women understand what they are signing and to explain whatever they do not understand.”

Madrid, Spain, May 19, 2009 / 02:17 pm
Source : Catholic News Aganecy
Read more...

Pope urges Peruvian bishops to relaunch the missionary spirit and to seek unity of the Church

Catholic News Agency (CNA) - The Holy Father met with bishops from the Peruvian Episcopal Conference today who recently completed their “ad limina” visit and asked them to relaunch the missionary spirit and work for the unity of the entire Church.

To begin his speech, the Pope spoke of the unity of the whole Church which “is never definitively achieved and must be constantly constructed and perfected, without surrendering to difficulties, be they objective or subjective, and with the aim of showing the true face of the Catholic Church, one and unique."



Noting that “the authentic unity of the Church is always an inexhaustible source of the spirit of evangelization," the Pope expressed his joy at the fact that the prelates had adapted their pastoral programs to accommodate "the missionary impulse promoted by the Fifth General Conference of the Episcopate of Latin America and the Caribbean, celebrated in Aparecida, and especially the 'Continental mission,' with a view to ensuring that each member of the faithful aspires to sanctity through a personal rapport with the Lord Jesus, loving Him with perseverance and conforming their own lives to evangelical criteria so as to create ecclesial communities of intense Christian life."

"This means relaunching the missionary spirit, not out of fear of the future, but because the Church is a dynamic presence, and the true disciple of Jesus Christ takes pleasure in freely transmitting His divine Word to others and sharing with them the love that flowed from His open side on the cross," he said.

Benedict XVI encouraged the prelates "to unite all the living energies of your dioceses that they may start out again from Christ irradiating the light of His face, especially to brothers and sisters who, perhaps because they feel unappreciated or not sufficiently recognized in their spiritual and material needs, seek answers to their anxieties in other religious experiences."

“Assiduous pastoral visits to ecclesial communities (including the most remote and humble), prolonged prayer, careful preparation of preaching, paternal concern for priests, families, young people, catechists and other pastoral care workers, are the best ways to instill in everyone an ardent desire to be messengers of the Good News of salvation, and will at the same time open the hearts of those around you, especially the sick and those most in need,” he added.

He also highlighted that "the beneficial presence of selfless men and women of consecrated life" in Peru. In this context he called on the bishops to continue their "fraternal accompaniment and encouragement" of such people so that, "living the evangelical counsels according to their own charism, they may continue their robust witness of love for God, unshakeable adherence to Church Magisterium and willing collaboration with diocesan pastoral programs."

Finally, he reminded the Peruvian bishops that "without work or adequate educational and healthcare provisions, and those who live in the suburbs of the great cities or in isolated areas. My thoughts also go to those who have fallen pray to drug addiction and violence. We cannot ignore these our weakest brothers and sisters, beloved unto God, ... Christ's charity urges us on."

Vatican City, May 18, 2009 / 09:07 pm

sumber : Catholic News Agency


Read more...

17 Mei 2009

Pengobatan Gratis dan Bagi Sembako



Susten-Suster Pengikut Yesus (CIJ) Keuskupan Agung Ende, Flores memberikan pengobatan gratis dan pemberian sembako kepada masyarakat di Paroki Kombandaru, Keuskupan Agung Ende, Jumat (8/5).

Para suster bekerja sama dengan persekutuan doa Kharismatik Santa Elisabet Jakarta, yang dipimpin Ibu Esther Kandow. Kegiatan dibuka dengan doa oleh Ibu Ester Kandow dan diberkati Pastor Pembantu Paroki Kombandaru Rm. Lodovikus Demu Pr.

Lima orang dokter terlibat dalam kegiatan ini: dr. Yanto, dr. Nani, dr. Rahkel, dr. Heru, dan Sr. dr. Ludgardis CIJ dibantu para perawat dan para suster CIJ sendiri.

Jumlah pasien yang tercatat sebanyak 600 orang.

Ketua Panitia Sr. Elvarina CIJ mengatakan, “pengobatan gratis ini merupakan salah satu agenda kegiatan sosial menyongsong yubileum 75 tahun Kongregasi Pengikut Yesus (CIJ) 25 Maret 2010”.

-- Suster Leny CIJ






Read more...

15 Mei 2009

'Break the vicious circle of violence,' Pope pleads before departing

President Peres, the Pope and Prime Minister Netanyahu listen to the anthems of the Vatican and IsraelTel Aviv, Israel, May 15, 2009 / 06:46 am


Catholic News Agency

CNA).- Pope Benedict made the strongest appeal for peace of his entire trip as he prepared to depart for Rome on Friday. During his farewell speech at the Ben Gurion International Airport, the Pope stressed the need for universal recognition of Israel's right to exist and the Palestinians' “right to a sovereign independent homeland.”

President Shimon Peres, who delivered a speech before the Pope, said the trip “constituted a significant contribution to the new relations between the Vatican and Jerusalem.”

“I hope that your visit enabled you and your delegation to experience the traits of our land... above all the sincere aspiration for peace shared by all Israelis—peace with our neighbors, peace with distant enemies, peace for all,” Peres said.

The Israeli president also added that “today's political and spiritual leaders face a profound challenge: how to divorce religion from terror. How to prevent terrorists from hijacking the religious conscience by cloaking an act of terrorism in the false guise of a religious mission.”

Peres argued that because of Pope Benedict's “great spiritual leadership” he can “help people to recognize that God is not in the hearts of terrorists.”

The Pope then took the podium and recalled that he and President Peres planted an olive tree at his house on the day he arrived in Israel. According to St. Paul, the Pope stated, the olive tree is a sign of “very close relations” between Christians and Jews.

He recounted how moving it was to meet Holocaust survivors at Yad Vashem, and said that the encounters reminded him of his visit to the “death camp Auschwitz” three years ago. There, many Jews were “brutally exterminated under a godless regime that propagated an ideology of anti-Semitism and hatred. That appalling chapter of history must never be forgotten or denied. On the contrary, those dark memories should strengthen our determination to draw closer to one another as branches of the same olive tree, nourished from the same roots and united in brotherly love.”

Benedict XVI then said that he wanted to “put on record that I came to visit this country as a friend of the Israelis, just as I am a friend of the Palestinian people.”

However, Pope Benedict shared that the fighting between Israelis and Palestinians over the past six decades has brought him deep distress and that he believes no friend can fail to weep at the suffering and loss of life.

The Holy Father pleaded with the Palestinians and Israelis, crying, “No more bloodshed! No more fighting! No more terrorism! No more war! Instead let us break the vicious circle of violence. Let there be lasting peace based on justice, let there be genuine reconciliation and healing.”

The way toward peace, asserted the Pope, is for it to be “universally recognized that the State of Israel has the right to exist, and to enjoy peace and security within internationally agreed borders” and “likewise acknowledged that the Palestinian people have a right to a sovereign independent homeland, to live with dignity and to travel freely.”

“Let the two-state solution become a reality, not remain a dream. And let peace spread outwards from these lands, let them serve as a 'light to the nations,' bringing hope to the many other regions that are affected by conflict,” Pope Benedict entreated.

The Pope went even further in lamenting the strife afflicting the region by decrying the Israeli-built security wall.

“One of the saddest sights for me during my visit to these lands was the wall. As I passed alongside it, I prayed for a future in which the peoples of the Holy Land can live together in peace and harmony without the need for such instruments of security and separation, but rather respecting and trusting one another, and renouncing all forms of violence and aggression,” he said.

“Mr. President,” Benedict said, “I know how hard it will be to achieve that goal. I know how difficult is your task, and that of the Palestinian Authority. But I assure you that my prayers and the prayers of Catholics across the world are with you as you continue your efforts to build a just and lasting peace in this region.”



Read more...