1 Juli 2009

Gereja Akan Menyoroti Pentingnya Para Imam

KARACHI, Pakistan (UCAN) -- Keuskupan-keuskupan di Pakistan telah memulai Tahun untuk Para Imam dengan sebuah komitmen untuk mengadakan program-program yang menekankan pentingnya imamat.

Paus Benediktus, awal tahun ini, mengumumkan bahwa satu tahun khusus untuk para imam akan dimulai 19 Juni, pesta Hati Yesus yang Mahakudus. Paus juga menulis sebuah surat khusus untuk semua imam, yang dikeluarkan 18 Juni di Vatikan, untuk menjelaskan tentang tahun khusus itu.

Uskup Agung Karachi Mgr Evarist Pinto memimpin Misa konselebrasi khusus bersama 25 imam di Gereja Hati Kudus di kota di bagian selatan Pakistan itu. Keuskupan Agung Karachi memiliki 37 imam diosesan.

"Berbagai program akan dilakukan di seluruh negeri itu untuk menyadarkan umat akan identitas, misi, dan panggilan seorang imam,” kata Uskup Agung Pinto dalam perayaan 19 Juni itu. "Pentingnya seorang imam itu terletak pada pelayanan terhadap umat dengan penuh komitmen dan kasih," lanjutnya.

Prelatus itu kemudian membagikan souvenir kepada para imamnya yang memperingati tahun khusus itu.

Keuskupan Faisalabad di Pakistan bagian timur juga mengadakan Misa khusus di Katedral Santo Petrus dan Paulus pada 19 Juni, yang dihadiri oleh sekitar 20 imam diosesan.

"Ini merupakan tahun syukuran atas panggilan imamat, untuk meninjau kembali berbagai kekeliruan masa lalu dan mulai lagi dengan penuh kesegaran menuju masa depan,” kata Pastor Bashir Francis, mantan vikjen Faisalabad, dalam sambutannya.

Surat paus untuk tahun khusus ini dibacakan, dan keuskupan mengumumkan kegiatan-kegiatan selama tahun khusus ini untuk mempromosikan panggilan imamat di semua 18 parokinya.

Pastor Aftab James Paul, direktur Komisi Dialog Antaragama, mengatakan kepada UCA News bahwa keuskupan itu berencana mengadakan sebuah seminar tentang tahun khusus ini di setiap paroki. Selain itu, keuskupan juga akan “menyusun buku-buku tentang martabat kehidupan seorang imam."

"Spanduk-spanduk dengan ayat-ayat Kitab Suci terkait dengan imamat akan dipajang di gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan Katolik” untuk mempromosikan panggilan di kalangan orang muda, katanya.

Pastor Paul mencatat bahwa Pakistan mengalami kekurangan imam. Negeri itu memiliki 164 imam diosesan yang melayani lebih dari 1 juta umat Katolik.

Umat Kristen itu kurang dari 2 persen dari 160 juta penduduk Pakistan, yang sekitar 95 persennya adalah kaum Muslim.

sumber: ucanews.com

Read more...

Para Imam Perlu Belajar Terus Menerus”

JAKARTA (UCAN) -- Para imam di Indonesia mengatakan bahwa Tahun Imam yang diluncurkan baru-baru ini merupakan sebuah kesempatan bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas guna membantu mereka dalam pelayanan pastoral.

"Tugas imam tidak hanya berhenti pada ritual-ritual tapi harus meng-umat, menjawab kebutuhan umat, dan update teologi dan ilmu lain yang berhubungan dengan pelayanan seorang imam," kata Pastor Yohanes Nikolaus Haryanto SJ, sekretaris jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Pastor Haryanto, yang juga mengetuai pelayanan pastoral mahasiswa di Keuskupan Agung Jakarta, mengatakan: "Jangan merasa bahwa saya sudah menyelesaikan filsafat dan teologi maka saya tidak perlu membaca atau berefleksi lagi. Kita harus ingat bahwa banyak orang awam juga sudah mulai belajar teologi."


Seraya menyebut bahwa umat paroki sering memberi hadiah kepada para imam di hari ulang tahun mereka, ia menyarankan: “Umat jangan menghadiahkan baju, tapi buku bacaan apa saja karena jaman sekarang menuntut seorang pastor untuk banyak membaca supaya ada variasi dan inovasi di setiap pelayanan kepada umat.”

Pastor Bonifasius Rampung, rektor Seminari Menengah Pius XII di Kisol, Flores bagian barat, sependapat. "Kebiasaan membaca menjadi hal yang utama. Apalagi sekarang perkembangan sarana komunikasi sangat maju. Kita harus memanfaatkannya," katanya.

Pastor Heribertus Samuel OFMCap dari Paroki St. Fransiskus Asisi di Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa Tahun Imam adalah "sebuah kesempatan istimewa bagi kami untuk mereflesikan pelayanan kami."

Ia menceritakan bahwa sebagai seorang imam yang berkarya di Kota Jakarta, ia kadang-kadang mengalami kesalahpahaman. "Ketika saya melayani terlalu dekat dengan kelompok atau orang tertentu, (saya) dinilai pilih kasih, diskriminasi, atau affair dengan orang tertentu. Padahal ini tugas saya sebagai pastor harus melayani umat,” katanya.

Namun, ia mengatakan bahwa ia terinspirasi oleh teladan St. Yohanes Maria Vianney, santo pelindung para pastor paroki, yang melayani umat awam secara sederhana dan setia. Paus Benediktus XVI, saat mengumumkan secara resmi Tahun Imam, menulis surat khusus kepada semua imam, seraya mengutip panjang lebar kehidupan santo asal Prancis itu.

Sementara itu, Keuskupan Agung Jakarta membuka Tahun Imam dengan sebuah Misa pada 22 Juni di Katedral St. Perawan Maria Diangkat ke Surga di Jakarta. Sekitar 200 imam dan lebih dari 500 umat awam menghadiri Misa yang dipersembahkan secara konselebrasi oleh Julius Kardinal Darmaatmadja SJ dan pensiunan Uskup Fransiskus Xaverius Hadisumarta OCarm.

Dalam surat gembala tertanggal 12 Juni untuk para imam di Jakarta, kardinal mengatakan bahwa keuskupan agung telah menetapkan tema-tema khusus untuk berbagai Misa dan doa-doa khusus untuk para imam yang akan dipersembahkan selama tahun khusus tersebut.

Paus meluncurkan Tahun Imam pada 19 Juni, pesta Hati Yesus Maha Kudus.

sumber: ucanews.com
Read more...

Menjembatani Jarak antara Vatikan dan Asia

KOTA VATIKAN (UCAN) -- Vatikan dan negara-negara Asia “tidak banyak memberi perhatian satu sama lain,” demikian duta besar Jepang untuk Takhta Suci. Dia yakin bahwa kedua pihak akan sangat saling menguntungkan jika semakin saling terlibat.

Kagefumi Ueno dengan latar belakang pendidikan Tokyo dan Cambridge, yang mewakili negaranya untuk Takhta Suci sejak November 2006 itu, baru-baru ini berbagi pandangannya dengan UCA News di Roma.

Dia mengungkapkan pandangan serupa, walaupun mungkin kurang tajam, dalam sebuah kuliah pertengahan Mei, untuk para diplomat dari 16 negara Asia yang menghadiri sebuah kursus politik internasional Takhta Suci di Italia.

"Negara-negara Asia agaknya kurang memberi perhatian besar dalam hubungan mereka dengan Takhta Suci,” katanya, karena agama Kristen hanya minoritas kecil, dan umumnya dianggap “asing” di benua Asia yang dihuni dua pertiga penduduk dunia itu.

Sekarang ini, negara-negara Asia berikut ini mempunyai hubungan diplomatik dengan Takhta Suci: Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Jepang, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Nepal, Pakistan, Singapura, Filipina, Korea Selatan, Sri Lanka, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Timor Leste, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Tetapi hanya Indonesia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Timor Leste memiliki kedutaan dan duta besar di Roma.

Negara-negara yang berikut ini belum punya hubungan diplomatrik dengan Takhta Suci: Afghanistan, Bhutan, Brunei, Cina, Laos, Myanmar, dan Vietnam, sekalipun Vietnam agaknya akan memilikinya dalam waktu dekat.

Menurut Ueno, Takhta Suci hendaknya memudahkan negara-negara untuk memiliki duta besarnya di Roma dengan memodifikasi posisinya yang disepakatinya dengan Italia dalam Lateran Treaty tahun 1929, yang menyatakan bahwa sebuah negara tidak bisa memiliki duta besar yang sama untuk Italia dan Takhta Suci. Waktu telah berubah, katanya, dan secara ekonomis jelas itu lebih mudah bagi sejumlah negara jika mereka memiliki duta besar untuk Takhta Suci yang juga diakui untuk Italia dan begitu sebaliknya.

"Jika Anda memiliki seorang duta besar di Switzerland atau Paris, maka secara praktis – bukan teori – dia menyempatkan satu atau dua persen dari waktunya untuk Vatikan, tetapi jika duta besar itu berada di sini di Roma, maka sekalipun perhatiannya tersita pada hubungan dengan Italia, namun duta besar itu setidaknya menyempatkan 10 atau 20 persen dari perhatiannya untuk Vatikan,” katanya. “Jelas, saya kira Vatikan tidak senang mendengar pandangan ini, namun pandangan ini perlu diungkapkan!"

Ueno, yang mengaku sebagai seorang yang memiliki "filsafat Buddha-Shinto" itu, memberi sejumlah alasan mengapa negara-negara Asia hendaknya memiliki duta besar untuk Takhta Suci.

Yang pertama berhubungan dengan "kekuatan moral" dari Paus dan Takhta Suci.

Diplomat Jepang itu mengatakan, dia sangat terkesan segera setelah tiba di Roma ketika, bersama para duta besar lainnya dari 175 negara, dia mendengarkan Paus Benediktus XVI menyampaikan pesan Tahun Baru tentang situasi internasional. Paus menyinggung 45 "isu penting"mulai dari isu-isu global seperti kemiskinan, pelucutan senjata, penciptaan perdamaian, konflik, pemukiman kembali, hak asasi manusia, kelompok-kelompok minoritas, imigrasi, perubahan cuaca, sampai kepada isu-isu yang mempengaruhi Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

Ini hanya salah satu dari sejumlah besar pesan yang disampaikan paus setiap tahun, catat Ueno, "dan bahkan jika Anda membuang pesan-pesan keagamaan – yang negara saya sangat tidak berminat – masih ada banyak, banyak pesan yang sangat bernilai."

Duta Besar Ueno menyimpulkan bahwa "Paus – dan Takhta Suci – adalah semacam kebaikan publik" dari komunitas internasional. Paus “sangat menghargai” komunitas internasional karena “dia mengungkapkan nilai-nilai moral bahkan dalam bidang politik," dan "dapat mengatakan sesuatu yang bahkan melawan Washington atau Moscow atau Beijing."

"Suara moral paus, nilai moralnya diterima begitu saja oleh kaum Muslim dan Buddha serta Protestan dan Katolik, dan netralitas paus, dalam beberapa hal, juga diterima begitu saja. Itu penting,” lanjutnya.

"Tidak ada banyak orang yang bisa memainkan suatu peran demikian,” tegas Duta Besar Ueno.

Untuk alasan inilah, dia percaya "bahkan negara-negara Asia hendaknya memiliki kedutaan di sini untuk memantau apa yang dikatakan oleh Paus."

Alasan kedua yang saya kira dapat membenarkan negara-negara Asia untuk memiliki duta besar untuk Takhta Suci adalah "keterbukaan jaringan media Katolik" yang menyiarkan kata-kata Paus ke seluruh penjuru dunia, jauh melampaui kantor-kantor berita Barat yang besar yang sesungguhnya bisa melakukan itu. "Roma ini semacam pusat jaringan media yang sangat bagus," tegasnya, dan fakta ini juga dapat mendorong negara-negara Asia untuk menempatkan kedutaan mereka di sini.

Penyiaran pesan paus ke seluruh dunia merupakan satu hal, tetapi apakah kenyataannya para pemimpin dunia mendengarkan Paus dan memperhatikan apa yang dikatakan Paus? Duta besar Jepang itu percaya bahwa “untuk jangka pendek, jawabannya biasanya tidak, tapi untuk jangka panjang mungkin ya."

Duta Besar Ueno kenal dan sangat menyegani mendiang Stephen Kardinal Fumio Hamao asal Jepang, yang pernah mengepalai Dewan Kepausan untuk Pelayanan Pastoral bagi Migran dan Orang dalam Perjalanan, dan “dalam beberapa hal” menerima padangannya bahwa “jarak” antara Roma dan Asia tidak sekedar “bersifat fisik.”

Ueno sependapat dengan kardinal itu bahwa “setidaknya di Jepang, ada sejumlah unsur keagamaan, atau lebih tepat, unsur kebudayaan yang menghambat banyak orang Jepang menjadi Kristen atau Katolik." Duta besar itu mengatakan, Kardinal Hamao pernah mengklaim bahwa ada "cara-cara yang lebih fleksibel" untuk mengkomunikasikan Injil, dan menasehati agar "Vatikan hendaknya mempertimbangkan suatu pendekatan yang lebih fleksibel untuk orang Jepang dan bahkan untuk orang-orang Asia, sehingga situasi kultural menyangkut tempat lebih serius dipertimbangkan."

"Hamao berpendapat bahwa pendekatan fleksibel ini secara serius belum terjadi selama ini,” katanya. Namun, kardinal itu tidak sendirian dalam mengungkapkan hal ini, lanjut duta besar itu. Yang lain juga telah mengungkapkan pandangan serupa, termasuk novelis Katolik Jepang terkenal, Shusaka Endo (1923-1996), dan sejumlah pemimpin Gereja Katolik Jepang, seperti Uskup Agung Osaka Mgr Leo Ikenaga Jun.

Ueno, yang menulis sebuah buku tentang peradaban-peradaban, percaya bahwa Vatikan dapat menjembatani “jarak” dengan tanah airnya, Jepang, dengan memanfaatkan “banyak imam” dalam berbagai tarekat religius “yang bukan saja sangat baik tentang Jepang, tetapi juga diakui berpengetahuan mendalam tentang kebudayaan Jepang, sentimen-sentimen Jepang, dan sebagainya."

Vatikan sudah memiliki “banyak sumber daya manusia” dalam berbagai strukturnya, catatnya, “namun banyak dari mereka itu anggota tarekat religius” dan “tidak dimanfaatkan oleh Vatikan." Dia yakin, jika Vatikan memanfaatkan pengetahuan orang-orang ini, meminta nesehat-nasehat mereka, dan memilih “pendekatan yang lebih antropologis,” maka seluruh pendekatan Vatikan terhadap Jepang “mungkin diubah."

Dalam kenyatan aktual, sekalipun Ueno tidak mengatakan demikian, Vatikan sudah menggunakan pendekatan seperti itu terhadap Cina. Pada tahun 2007, Paus Benediktus membentuk Komisi Cina untuk memberi nasehat kepadanya menyangkut hal-hal terkait dengan situasi Gereja di Cina daratan, dan untuk komisi telah mengangkat bukan saja para pejabat Vatikan tetapi juga uskup-uskup Cina, sekalipun tidak ada satu pun uskup dari Cina daratan dan anggota tarekat religius yang pakar tentang Cina.

Jika Vatikan mengikuti apa yang diusulkan duta besar Jepang itu, maka Vatikan akan membentuk sebuah komisi serupa untuk Jepang, dan mungkin juga untuk negara-negara Asia lainnya. Ini bisa memiliki konsekuensi yang jauh untuk evangelisasi di Asia.

sumber: ucanews.com


Read more...