15 Agustus 2010

Ada Perubahan Besar pada KUB

ENDE (FLORES POS) -- Komunitas umat basis sudah banyak mengalami perubahan dan hal itu bukan saja karena usaha kita, tetapi juga karya Roh Kudus, kata Romo Feri Deidhae Pr, Direktur Pengembangan dan Penelitian Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende, Kamis (8/7). Dia mengatakan demikian karena dengan dana yang terbatas dan sumber daya fungsionaris pastoral serta jumlah personel yang juga terbatas, komunitas umat basis mengalami perubahan yang begitu besar.

Karena Muspas sebagai ajang evaluasi dan penyusunan perencanaan arah dasar dan strategi pastoral Keuskupan Agung Ende lima tahun ke depan, maka Puspas sebagai lembaga perencanaan reksa pastoral keuskupan melakukan penelitian dan survei.

Tiga instrumen dipakai untuk membedah situasi pastoral Keuskupan Agung Ende yakni pertama, katekese umat yang dilakukan oleh Tim Komisi Kateketik (Komkat). Hasilnya dipresentasikan oleh Ketua Komkat Herman Tambuk pada hari pertama Muspas. Kedua, survei yang dilakukan oleh Romo Feri Deidhae, dan self assessment yang meliputi aspek kerasulan gereja dalam tata dunia (tim Romo Domi Nong Pr, Romo Sipri Sadipun Pr, dan Romo Adolf), aspek arah dasar dan implementasi Muspas (tim Romo Alex Tabe Pr dan Romo Remigius Misa Pr), dan aspek sumber daya, tenaga (personel), sarana dan prasarana (tim Romo Cyrilus Lena Pr, Romo Herman Wetu Pr, Romo Yet Koten Pr, dan Romo Efraim Pea Pr).

Hasil penelitian dan survei yang dipresentasikan pada hari pertama Muspas, katanya, adalah alat untuk menggambarkan situasi riil umat agar kita dapat mengerti dengan mudah dan jelas. Survei tersebut bukan tawaran solusi.

Data-data itu jelas memperlihatkan bahwa komunitas umat basis bukanlah hanya sebuah komunitas doa dan yang merayakan ekaristi, tapi sebuah komunitas yang punya kepedulian terhadap masalah-masalah konkret seperti kesehatan, kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Komunitas basis harus bisa menggerakkan semua anggotanya untuk bertanggung jawab secara sosial. Dia harus peduli dengan nasib orang lain yang disebut sentimen sosial. “Karena itulah maka komunitas basis itu disebut komunitas perjuangan. Karena anggotanya berjuang bersama-sama untuk memecahkan masalah sosial, semisal kemiskinan, kesehatan dan lain-lain”.

Secara umum, lanjutnya, yang menjadi kendala adalah masih belum maksimalnya kemampuan fungsionaris pastoral di komunitas basis. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pengurus komunitas basis (33%) berpendidikan sekolah dasar. Kemampuan mengelola komunitas masih kurang. “Kita harus realistis karena mayoritas masyarakat kita juga tamat sekolah dasar”.

Dia juga bilang, banyak yang menilai fungsionaris pastoral belum sesuai harapan. Hal ini bisa dimengerti kalau terjadi konflik di komunitas basis, orang tidak pergi komunitas basis tapi ke tokoh masyarakat atau pemerintah. Memang banyak keluhan juga bahwa banyak orang tidak mau jadi pengurus komunitas basis. “Mungkin saja karena tidak ada gajinya, orang tidak mau repot dengan urusan agama dan karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri”.

“Karena beda sekali, misalnya di kampung, orang rebut jadi ketua RT atau rebut jadi kepala desa. Mungkin karena ada uangnya. Sementara komunitas basis ini hanya mengandalkan sukarela”.

Mengatasi masalah ini, ke depannya kita akan melakukan pendampingan yang berkelanjutan terhadap fungsionaris pastoral. “Muspas ini akan membicarakan apa yang mau dibuat untuk meningkatkan kemampuan fungsionaris pastoral komunitas basis”.

Sudah bagus bahwa ada semangat doa dan merayakan ekaristi di dalam komunitas basis kita, tapi “jangan sampai sifatnya hanya spiritualistis semata” karena “iman tanpa perbuatan adalah mati”. “Kita jangan lupa bahwa spiritualitas kita harus berbuah dalam pelayanan”.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar