4 Januari 2010

Paus Minta Kelompok Bersenjata Abaikan Kekerasan

Oleh Gerard O'Connell,
Koresponden Khusus di Roma


KOTA VATIKAN (UCAN) -- Pesan Tahun Baru dari Paus Benediktus XVI berisi himbauan penuh kasih kepada kelompok-kelompok bersenjata di seluruh dunia untuk mengabaikan kekerasan.

"Kepada setiap orang dan setiap kelompok, saya katakan: hentikan, renungkan, dan abaikan jalan kekerasan," kata Paus.

"Sekarang ini, langkah ini mungkin tampaknya tidak mungkin, namun jika Anda memiliki keberanian untuk melakukannya, Allah akan membantu Anda dan Anda akan merasakan betapa bahagianya kedamaian itu di dalam hati Anda. Kebahagiaan yang mungkin telah lama Anda lupakan."

Asia merupakan tempat sejumlah peristiwa kekerasan, seperti konflik-konflik dengan Taliban di Afghanistan dan Pakistan, kekerasan dan penculikan yang terus terjadi di Filipina selatan, dan hampir setiap hari terjadi pemboman di selatan Thailand.

Paus menyampaikan himbauannya untuk perdamaian itu pada 1 Januari tengah hari setelah merayakan Misa untuk perdamaian di Basilika St. Petrus.

Gereja Katolik merayakan Hari Tahun Baru sebagai “Hari Perdamaian Dunia” sejak tradisi ini dimulai oleh Paus Paulus VI tahun 1967. Umat Katolik di dunia diminta untuk memikirkan apa yang dapat mereka sumbangkan bagi perdamaian dunia pada hari khusus ini.

Dalam kotbahnya, Paus mendesak masyarakat dunia untuk wajah pribadi lain dengan penuh penghormatan, “tanpa mempedulikan warna kulit, kebangsaan, bahasa, dan agamanya" dan melihat di sana seorang pribadi “yang bukan pesaing atau musuh,” tetapi “saudara dalam keluarga manusia.”

Paus juga memaafkan perempuan yang menyerangnya pada Malam Natal dan mengutus sekretaris pribadinya untuk menyampaikan pesan itu kepada perempuan itu secara pribadi. Perempuan itu, Susanna Maiolo, 25, sedang dalam perawatan di sebuah pusat medis yang dirahasiakan. Perempuan itu dibawa ke pusat yang berada di Subiaco, selatan Roma, segera setelah ditangkap di Basilika St. Petrus. Maiolo, yang dikatakan memiliki sejarah gangguan psikologis, meloncati petugas keamanan dan mendorong Paus sehingga Paus jatuh ke tanah. ***
Read more...

2 Januari 2010

Pesan Seda: Jaga NKRI

Kupang, KOMPAS - Dalam pertemuan terakhir, Juli 2009 di Jakarta, Frans Seda memberikan pesan khusus kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, yakni jangan mudah terprovokasi isu yang ingin memecah belas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga NTT harus ikut menjaga keutuhan NKRI.

Gubernur NTT mengutarakan hal itu, Jumat (1/1) di Kupang, NTT. Frans Seda memesankan pula agar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila terus dijaga di kawasan timur Indonesia.

”Beliau berpesan agar NTT dijaga baik-baik pula. Bangun kesejahteraan rakyat melalui peningkatan infrastruktur, sumber daya manusia, ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan kerja sama antarkelompok masyarakat,” kata Lebu Raya lagi.

Kepercayaan diri

Uskup Agung Ende Monsinyur (Mgr) Vincentius Sensi Potokota mengakui, kepergian Frans Seda adalah kehilangan besar untuk bangsa Indonesia, terutama warga NTT. Seda memberikan makna dalam, khususnya dalam menumbuhkan rasa percaya diri bagi warga Flores dan NTT.

”Dari NTT ada figur Frans Seda, tokoh bangsa yang mengukir banyak prestasi nasional. Ia dapat menjalankan tugas negara dengan baik dari rezim ke rezim. Frans Seda adalah tokoh fenomenal,” kata Sensi.

Sensi mengakui, Seda adalah ikon. Kehadiran dan perannya di Indonesia yang besar, dia berasal dari kalangan Katolik, mencerminkan pemberian putra terbaik dari gereja untuk bangsa.

”Dia juga menyumbangkan nilai-nilai Kristiani lewat tugas kenegaraan yang dijalankan. Frans Seda memberikan inspirasi bagi pimpinan umat. Dia sering memberikan dukungan dari ketokohan dan keteladanannya sebagai pemimpin,” katanya lagi.

Secara terpisah, Uskup Maumere Mgr Gerulfus Cherubim Pareira menyatakan, rasa pengabdian Frans Seda pada bangsa dan negara sangat tinggi.

”Yang saya tidak lupa, pernah ada sorotan tajam diarahkan padanya, ketika menjabat sebagai menteri apa saja yang diperbuatnya untuk NTT? Saya salut pada jawaban Frans Seda, yakni dirinya menjadi menteri bukan saja untuk mengurus NTT, tetapi untuk kepentingan yang lebih luas, membangun bangsa dan negara ini,” ungkap Cherubim.

Gervatius Portasius Seda, keponakan Frans Seda, menuturkan, secara adat, almarhum adalah tokoh dengan gelar Koro Ria, Panglima Adat. Sebernarnya masyarakat Lekebai, tempat kelahiran Frans Seda, menghendaki almarhum dimakamkan di makam leluhur. Akan tetapi, Frans Seda pernah berpesan, lokasi pemakamannya diserahkan kepada istri dan anak-anaknya.

Untuk mengenang Frans Seda, warga Lekebai menggelar misa arwah di Gereja Maria Imakulata, Lekebai, pada Jumat petang dan Sabtu pagi, yang disesuaikan dengan misa arwah di Jakarta. ”Kalau di Jakarta misa pukul 10.00 di Katedral, di Lekebai digelar pukul 11.00,” kata Gervatius.

Gubernur NTT menggelar misa arwah bersama warga di Kupang, 6 Januari 2010, pula. Selain bagi Frans Seda, misa itu untuk mendoakan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya memiliki peran besar bagi Indonesia. (kor/sem)
Read more...

SBY: Frans Seda Tokoh 3 Zaman

*Tokoh Kepercayaan Lima Presiden

Jakarta,KOMPAS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, almarhum Franciscus Xaverius Seda, dikenal sebagai Frans Seda, sebagai tokoh tiga zaman. Hal ini dikatakan Presiden seusai melayat di rumah duka Frans, Jumat (1/1) petang.

Frans Seda, mantan Menteri Keuangan dan Ekonom Senior, meninggal dunia, Kamis pukul 05.00, pada usia 83 tahun karena sakit. Jenazah akan dimakamkan Sabtu ini di Pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, dan diberangkatkan dari Gereja Katedral Jakarta pukul 13.00. Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja akan memimpin misa requeim.

Yohanes Temaluru dari keluarga Seda menyatakan, pemakaman akan berlangsung dalam upacara militer yang dipimpin Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Misa tutup peti pukul 07.00. Jenazah Frans Seda juga akan diberikan penghormatan terakhir di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.

Pemikir kritis

Presiden Yudhoyono menyatakan pula, ”Kita mengenal beliau tokoh tiga zaman. Beliau pernah menjadi menteri Bung Karno dan menteri di berbagai portofolio pada masa Pak Harto. Juga pada era reformasi, berkontribusi dalam pengembangan demokrasi dan pengembangan era baru ini.”

Menurut Presiden, Frans Seda adalah tokoh dan pemikir yang kritis, tetapi juga memberikan solusi untuk kepentingan pembangunan. Presiden berbelasungkawa atas wafatnya Frans Seda.

”Atas nama negara, pemerintah, dan pribadi, saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya tokoh bangsa. Semoga diterima di sisi Yang Maha Esa,” kata Presiden.

Presiden menambahkan, semua yang masih menjadi cita- cita Frans Seda adalah tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkannya demi menuju masa depan yang lebih baik.

Secara terpisah, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengakui ada nasihat dari Frans Seda yang selalu diingatnya. ”Om Frans selalu bilang, saya enggak boleh menyerah,” ungkap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Megawati tiba di rumah duka di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat sekitar pukul 19.00. Ia mengaku merasa kehilangan Frans Seda, yang saat ini juga menjadi sesepuh PDI-P.

Megawati mengaku bertemu terakhir kali dengan Frans Seda saat Rapat Kerja Nasional PDI-P tahun lalu. Frans Seda masih bersemangat memberikan masukan bagi partai. Ia masih memiliki ingatan cukup tajam.

Selain Presiden dan Megawati, beberapa tokoh juga melayat di rumah duka. Mereka antara lain Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetama, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Try menyebut Frans Seda sebagai sosok yang selalu memikirkan ekonomi kerakyatan.
Boediono kepada Johanna Maria Pattinaja, istri Frans Seda, berujar, ”Negara merasa kehilangan, terutama atas jasa di bidang ekonomi. Tabah, ya, Bu.”

Menurut Wapres, Frans Seda adalah ekonom nasionalis yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kelompok dalam menjalankan tugas dan peran. Ia meminta semua komponen bangsa mencontoh hal itu untuk maju.

Mantan Wapres M Jusuf Kalla, yang sedang di Australia, Jumat, menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Frans Seda. Frans Seda dikenalnya gigih dalam memperjuangkan kepentingan bangsa, khususnya pembangunan di wilayah timur Indonesia. ”Semangat hidup dan semangat memikirkan bangsa ini luar biasa. Kadang kala semangatnya itu berlebihan untuk orang seusia dia,” kata Kalla.

Kalla mengisahkan suatu peristiwa dua tahun silam. Dengan menggunakan kursi roda, Frans Seda mengunjunginya di Istana Wapres. Frans Seda bicara soal utang Pemerintah Indonesia yang terlalu besar dan menawarkan diri untuk membicarakan soal itu dengan koleganya di Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
”Saya bilang, kolega Bapak di sana tentu sudah pensiun. Jadi, Bapak istirahat saja, jaga kesehatan dengan baik,” kata Kalla waktu itu.

Pendiri ”Kompas”


Selain di bidang kenegaraan, Frans Seda turut berperan dalam kelahiran harian Kompas, 28 Juni 1965, bersama PK Ojong dan Jakob Oetama. Jakob menyebutkan, almarhum merupakan sosok yang tidak pernah membosankan untuk diajak berdiskusi.

”Orangnya tegas, pandai. Saya kenal lama. Pak Frans juga salah satu pendiri Kompas yang selalu menulis tentang keresahan di negeri ini,” ujar Jakob Oetama.

Jakob mengakui terakhir bertemu Frans Seda sekitar setengah tahun lalu saat ia berkunjung ke Kompas. ”Itu hanya sebentar. Beliau sudah sulit bicara,” ujarnya.
Sebagai pejabat negara, Jakob menambahkan, Frans Seda adalah sosok yang tak pernah membedakan daerah satu dengan yang lain. ”Beliau selalu memerhatikan semua daerah, infrastruktur yang rusak diperbaiki, dan tidak ada diskriminasi,” katanya.

Lima presiden

Frans Seda meninggalkan seorang istri dan dua anak, Francisia Saveria Sika Seda dan Yoanesa Maria Yosefa Seda. Frans Seda yang dilahirkan dari pasangan Paulus Setu Seda dan Sipi Soa Seda, 4 Oktober 1926, di Lekebai, Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Flores, sekitar 30 kilometer sebelah barat Kota Maumere, pernah menjadi Menteri Perkebunan (1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1967), dan Menteri Perhubungan (1968).

Selain itu, ia juga menjabat Penasihat Ekonomi untuk tiga presiden, yaitu BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Artinya, Frans Seda pernah membantu lima presiden di negeri ini.

Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, yang juga melayat ke rumah duka, mengatakan, Frans Seda adalah tokoh bangsa yang nasionalis, melintasi batas agama. ”Umat Katolik banyak belajar dari beliau. Ia juga menjadi orang kepercayaan presiden pertama sampai kelima,” katanya.

Magnis mengaku sering bertemu Frans Seda. ”Kita memerlukan orang nasionalis seperti Pak Frans Seda,” ujarnya.

Yohanes Temaluru menceritakan, November lalu, Frans Seda sempat dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah karena tenggorokannya sakit sehingga tidak bisa menelan makanan. ”Kira-kira dua minggu di RS, kemudian pulang dan menjalani fisioterapi seperti biasanya. Saat Natal lalu, beliau sempat merayakan bersama keluarga,” katanya.

Yohanes mengakui, sakit yang diderita Frans Seda akibat usia yang kian tua. Ketika Presiden Republik Indonesia (1999-2001) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga teman dekat almarhum, wafat, Frans Seda tak diperbolehkan melihat televisi.
”Kami khawatir Pak Frans Seda akan meminta diantar melayat Gus Dur. Padahal, kondisi kesehatan tidak memungkinkan. Jadi, sampai akhir hayatnya, beliau tak tahu kabar Gus Dur meninggal,” ungkap Yohanes.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengutarakan, Frans Seda sebagai tokoh yang pluralis, fleksibel, dan terbuka. Begitu pula mantan Menteri Agama Tarmizi Taher menilai Frans Seda merupakan sosok yang bisa berkomunikasi dengan semua orang tanpa melihat dari mana asalnya. ”Beliau menginginkan umat beragama menjadi satu,” katanya.

Mari Pangestu juga mengaku sangat mengagumi Frans Seda.
(sie/dis/day/Kompas.com/ ryo/ham/sem)

Read more...

Selamat Jalan, Pak Frans Seda!

Frans M Parera

KOMPAS -- Pernah dalam sebuah seminar di Hotel Mulia, Frans Seda membandingkan dirinya dengan Sutami yang bersama Bung Karno membangun jembatan Semanggi di Jakarta. Sutami orang Jawa, dia orang Flores. Usia Sutami pendek, badan kurus seperti kurang gizi. Sementara Frans Seda bisa berusia lanjut, badan tidak kurus dan menjadi cerdas karena sejak kecil selain minum susu ibu juga makan ulat bambu yang tumbuh subur di Flores.

Tokoh yang baru saja meninggal dunia pada usia 83 tahun (1926-2009) ini memang berasal dari Indonesia timur, tepatnya dari Pulau Flores, Provinsi NTT. Lahir di desa terpencil Lekebai, Kabupaten Sikka, Flores, pada masa Hindia Belanda dari keluarga pemuka setempat; bapaknya seorang guru. Belajar di Sekolah Guru Tomohon, Manado; pamannya seorang kapitan (camat sekarang), mereka tinggal di rumah beratap sirap bambu dan seng di tengah perkampungan beratap alang-alang atau daun kelapa.
Tak heran jika di dinding ruang tengah tergantung sebuah lukisan berukuran besar Danau Kelimutu di Lio-Ende, tempat kelahiran Frans Seda. Istrinya, Johanna Maria Pattinaja, berasal dari keluarga Manado, Maluku, dan Belanda, tetapi dikenal sebagai kolektor kain-kain tenun NTT.

Sejak Frans Seda meninggal sampai dikuburkan secara kenegaraan hari ini di pekuburan San Diego Hills, Karawang, begitu banyak perhatian dan minat publik terarah pada tokoh nasional ini. Para pelayat berdatangan ke rumah duka di kawasan Pondok Indah. Karangan bunga dari segala relasinya memenuhi halaman rumahnya sampai sepanjang jalan.

Memukau Bung Karno


Pembicaraan tentang dirinya, karyanya, prestasinya, serta jasa- jasanya kepada bangsa dan negara meramaikan suasana duka. Sosok ini merajut sebuah collective memory sebagai tokoh tiga zaman. Mulai masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai NKRI berdiri selama lebih dari enam puluh empat tahun usianya. Biografinya memasuki gerbang collective memory sejarah kemanusiaan, masyarakat, bangsa Indonesia, diawali dengan sebuah peristiwa kecil di sekolahnya, yang setingkat SMP di Ndao Ende.

Peristiwa penting itu terjadi sekitar 75 tahun lampau di lingkungan sekolah Katolik tempat dia belajar di Ndao. Pada waktu itu Bung Karno dibuang dari Sukamiskin, Bandung, ke Ende dan ditempatkan di lingkungan kauman Ende, komunitas kecil beragama Islam. Polisi rahasia menyebarkan isu kepada kalangan gereja Katolik di Flores bahwa tokoh yang dibuang itu seorang komunis-marxis. Mereka tahu bahwa musuh utama gereja Katolik sedunia pada tahun tiga puluhan adalah partai komunis internasional dengan misi propaganda ateismenya. Gereja Katolik adalah lembaga politik antikomunis terutama sejak revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917.

Bung Karno dikaitkan sebagai anggota aliran komunis dan ateis. Ketika Bung Karno menyampaikan keinginannya mau mengunjungi SMP Ndao, pemimpin sekolah pada dasarnya menolak kedatangan Bung Karno. Namun, Bung Karno menunjukkan sikapnya dengan sungguh-sungguh mau mengunjungi sekolah Katolik itu, maka kepala sekolah mempersiapkan kedatangan tokoh pergerakan politik itu dengan mengemas acara penerimaan yang sederhana. Seorang murid yang sudah pandai berbahasa Belanda diminta mempersiapkan diri berpidato dalam bahasa Belanda menerima kunjungan Bung Karno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Bung Karno terkesan dengan penampilan seorang anak kecil tetapi cerdas, anggota keluarga kapitan perbatasan Lio dan Sikka/Maumere, Lekebai. Bocah itu bernama Frans Seda.

Sekitar sepuluh tahun kemudian ketika Frans Seda ikut berjuang sebagai Tentara Pelajar di Yogyakarta dan Jakarta mendapat kesempatan bertemu dengan Presiden Soekarno di Yogyakarta. Frans Seda memperkenalkan dirinya dari Flores. Memori Bung Karno dibuka kembali dengan kisah kunjungannya ke Ndao. Nasib Frans Seda berubah karena perkenalan dengan Bung Karno di Yogyakarta dan selanjutnya di Jakarta. Pak Frans Seda menjadi menteri kepercayaan Bung Karno; sahabat dekat Bung Karno dengan keluarga besarnya sampai sekarang.

Kini beberapa pihak sedang memperjuangkan agar Ende menjadi heritage, di mana Bung Karno memikirkan persatuan suku-suku di Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa, bangsa Indonesia. Pancasila lahir di kota itu. Pancasila menjadi abadi juga di kota itu karena Bung Karno empat tahun hadir dan berada di tengah denyut dinamika orang Flores.

Bila di Jawa Uskup Soegijopramoto mengambil sikap cepat mendukung perjuangan para pendiri NKRI, maka berbeda sekali sikap uskup-uskup di Indonesia timur yang antikomunis. Biarpun Vatikan merupakan salah satu negara yang mengakui eksistensi NKRI, gereja Katolik Indonesia timur tidak demikian cepat bersimpati dengan NKRI karena adanya PKI sebagai partai resmi NKRI pada waktu itu.
Komunis harus dihadapi dengan gerakan kesejahteraan rakyat yang merata, maka uskup-uskup Flores mengirim anak-anak muda Flores belajar segala macam ilmu di Belanda. Frans Seda disuruh belajar ilmu ekonomi pembangunan, ekonomi kerakyatan.

Pahlawan keuangan RI

Peranan nasional Frans Seda meningkat ketika IJ Kasimo surut dari permainan politik istana bersama Natsir dari Masyumi, mereka menolak kehadiran partai komunis dalam kabinet Presiden Soekarno. Dengan dukungan Angkatan Darat yang antikomunis, Frans Seda diterima dalam lingkungan kabinet era Bung Karno, mulai dari menteri perkebunan dan pertanian, melanjutkan kebijakan pertanian yang dirintis dalam Kasimo Plan.

Para menteri yang menjadi tim pembantu presiden baik era Bung Karno maupun era Soeharto mengenang Frans Seda, diberitakan secara luas di media masa pada tahun enam puluhan ketika dia menjabat sebagai menteri keuangan. Dia dipercayai oleh Soeharto pada awal masa kepresidenannya. Menteri Emil Salim yang amat mengenalnya sampai memberi gelar kepada Frans Seda Pahlawan Keuangan Indonesia. Ini dinyatakan Emil Salim di Unika Atma Jaya, Jakarta, ketika menghormati 80 Tahun Usia Frans Seda,
Lalu mengapa Frans Seda begitu singkat masanya menjadi menteri keuangan pertama Orde Baru? Penyebabnya adalah perbedaan tradisi transparansi dan kontrol yang dipelajari Frans Seda di Belanda tidak klop dengan tradisi rahasia militer rezim Orde Baru.

Naskah akademis Undang- Undang Keuangan Negara yang disiapkan Frans Seda dan anggota staf Departemen Keuangan ditolak oleh kalangan militer. Mereka menolak maksud baik Frans Seda untuk menyehatkan keuangan negara miskin karena mismanajemen hampir di segala bidang.

Di pengujung tahun 2009, ketika Indonesia sebagai sebuah sekolah raksasa diguncangkan oleh kehebohan dalam bagian administrasi keuangan, meninggal dua guru inspiratif, guru bangsa yakni Gus Dur dan Frans Seda. Mereka mempunyai kesamaan dan kemiripan membangun kembali moral sekolah ini dengan konsep moral force baru, yakni moralitas dibangun dari agama, intelektualitas/rasionalitas dan keuangan (kapital) untuk kesejahteraan umum karena dibedakan dengan tegas milik publik dan milik sendiri.

Akhirnya sesudah bergumul dengan berbagai komplikasi penyakit selama beberapa waktu, Frans Seda meninggal dunia di rumahnya di Pondok Indah pada tanggal 31 Desember 2009 pukul 05.00. Berita meninggalnya tokoh nasional ini tersebar cepat di tengah perhatian publik terarah pada proses penguburan jenazah Gus Dur di Jombang. Banyak pelayat datang menjenguk dan mendoakan arwahnya.

Telah pergi seorang manusia yang telah mengisi kehidupannya sebagai the man of values. Bagaimana publik memberikan penghormatan pada tokoh yang baru meninggal ini, sudah memperlihatkan memori kolektif di mana tokoh ini sudah berperan aktif dan mewariskan hal-hal permanen di tengah masyarakat.
Selamat jalan, Pak Frans Seda! RIP!

Frans M Parera Editor Buku

Read more...

Court overturns ban on non-Muslims using the word ‘Allah’

PENANG, Malaysia (UCAN) -- The High Court in Kuala Lumpur on Dec. 31 ruled that the national Catholic weekly, “Herald,” can use the word “Allah” to refer to God and that the Home Ministry’s order banning its use is illegal.

A copy of the 'Herald' weekly

The court also declared that the word “Allah” is not exclusive to Islam.

“We welcome the court’s decision very much as in the long term it will be not only good for ‘Herald’ but for others as well,” said S. Selvarajah, one of a team of four lawyers involved in the Church’s challenge of the ban.

The Home Ministry in 2007 issued a blanket ban on the use of the word “Allah” in all non-Muslim publications.

Archbishop Murphy Pakiam of Kuala Lumpur, publisher of "Herald," challenged it in a case that began in February.

Selvarajah told UCA News the judge made six declarations, one citing Article 11 of the constitution on the right to religious freedom.

“Article 11 states that we have the right to manage our own religious affairs, thus using ‘Allah’ as part of our worship is our right,” the lawyer said.

Bishop Antony Selvanyagam of Penang spoke to UCA News immediately after the decision. “I would like to congratulate the Herald’s lawyers and (Herald editor) Father Lawrence Andrew for their efforts to defend the rights of the Church in this matter,” he said.

Pastor Jerry Dusing, president of the Sabah Evangelical Church of Malaysia and Sabah Council of Churches, said the decision was good for everyone. “We are living in a multi-racial country, thus there must be racial unity and respect among each other,” he said.

The government had argued that the use of the word "Allah" in Christian publications was likely to confuse Muslims and draw them to Christianity. The Church claimed the ban violates its constitutional rights to practice its religion freely.

Father Andrew said that the word “Allah” has been used by Christians in the region to refer to their God for 400 years.
Read more...